Showing posts with label Dilema: tiga cerita untuk satu rasa. Show all posts
Showing posts with label Dilema: tiga cerita untuk satu rasa. Show all posts

Penulis    : Alvi Syahrin
Ukuran    : 13 x 19 cm
Tebal        : 348 hlm
Penerbit  : Bukuné
ISBN        : 602-220-064-4
Harga      : Rp42.000,-

Estrella
Ini bukan kisah cinta segitiga seperti yang kau pikirkan.

Kira
Cinta hanya punya ruang untuk dua orang, bukan tiga.

Adri
Tuhan tak pernah membiarkan kita kesepian.

Suatu ketika, aku ingin menceritakan kisah panjang tentang kami. Tentang tiga manusia yang jatuh cinta, cemburu, patah hati, tertawa, sakit, dan kehilangan. Tentang tiga manusia yang mengharapkan hal paling utopis:
selalu bersama tanpa ada yang terluka.

Ini kisah tentang kami bertiga yang saling bersitatap sekaligus memunggungi. Dan ini bukan kisah cinta segitiga seperti yang dia pikirkan…, tetapi bisa saja seperti yang kau duga.
***

Alhamdulillah. Ini novel pertama saya. Genre-nya teen romance. Menceritakan tentang tiga orang sahabat yang penuh konflik. Ada masalah keluarga, ada kisah tentang jatuh cinta, cemburu, patah hati, tertawa, sakit dan kehilangan, seperti yang dituliskan pada sinopsisnya. Dan ini bukan kisah cinta seperti yang kau pikirkan. ;)

Buku ini bisa didapat di toko-toko buku terdekat. Bisa juga pesan online, seperti www.bukabuku.com.

Jika ingin membaca behind the scenes penulisan novel ini, klik...

===
Behind The Scenes 5
Behind The Scenes 6

Page on Goodreads: http://www.goodreads.com/book/show/15761850-dilema-tiga-cerita-untuk-satu-rasa
===

Jika belum bisa diklik, itu artinya saya belum update. Insya Allah, akan selalu saya update, as soon as possible.


Dapat kabar bahagia di malam pertama jelang Ramadhan. Dan, ini tentang apa yang saya impikan selama ini. :')

Subhanallah. Saya masih ingat betul perasaan ketika menulis postingan ini. Ini adalah salah satu pencapaian dari novel Dilema, ketika masih sedang ditulis.

***

Life is so unpredictable dan saya tidak pernah tahu jalan hidup saya akan seperti ini. Kuasa Allah benar-benar luar biasa, ya?

Salah satu teman saya, Eros Rosita, pernah mengabari saya tentang lomba #NulisBarengBukune. Jadi, #NulisBarengBukune adalah lomba membuat outline novel kita untuk dikirimkan kepada redaksi Bukune. Nantinya, mereka akan memilah-memilah outline-outline yang masuk. Kemudian memilih 20 dari sekian peserta yang ikut dalam perlombaan itu.

Penerbit Bukune. Dulunya, Bukune sering menerbitkan novel komedi, contohnya novel paling booming di Twitter, @Poconggg. Tapi, tentunya sebuah penerbit tidak ingin berjalan di satu genre saja. Bukune juga ingin melebarkan sayapnya dengan menerbitkan beberapa novel romance akhir-akhir ini.

Waktu Eros menawarkan saya untuk ikut... saya menolak dengan satu alasan yang prinsipal sekali. Tapi, saya meminta dia untuk ikut lomba ini. Harus. Dan, akhirnya, dia ikut. Alhamdulillah. :)

Lalu suatu ketika, Gita Dala, salah satu sahabat saya, mengirimkan sms...

"Vi, ada kesempatan untuk naskah kita lhooooo!!!" Yup, Gita Dala ini juga suka menulis, sama seperti saya dan Eros.

Kemudian, saya membalas sms-nya...

"Lomba dari Bukune itu, kan? Aku ga ikut, Git..."

Selanjutnya, dia meyakinkan saya untuk HARUS ikut lomba ini. Saya menolak berkali-kali, tapi selama itu pula ia memaksa saya... sampai akhirnya saya mengiyakan. Tapi, besoknya setelah saya mengiyakan, saya bilang kalau saya tidak jadi ikutan karena lomba itu meminta kita untuk ke Jakarta kalau menang. Dan saya tidak mau ke Jakarta. Ge-er banget bakal menang, ya?

Sekali lagi, dia bilang bla bla bla soal mimpi, dan akhirnya saya fix untuk ikut.

Saya mulai menulis outline seminggu sebelum deadline. Saya dan Gita Dala selalu chatting lewat YM, bahas tentang outline kita. Dan selalu stres karena merasa outline kita jelek dan menjijikan dan alay. :(

Benar-benar stres sampai tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan. Benar-benar stres sampai kepikiran untuk mundur.

Tapi, hidup itu tentang perjuangan, bukan?

Maka, saya terus melanjutkan perjalanan ini. Berusaha menikmati, dan saya memang bisa menikmatinya, meskipun saya selalu tidak puas dengan hasilnya. Tapi saya meyakinkan diri: Ini, lho, cuma outline. Tidak butuh kata-kata bagus untuk membangun sebuah tulisan. Yang terpenting adalah idenya.

Tapi, outline yang dikirimkan tak boleh sekadar ide cerita saja. Penulis juga harus mengirimkan sample halaman awal minimal tiga halaman.

Dan, ketika saya selesai menuliskannya. Saya baca ulang. Saya edit lagi. Saya baca lagi (dan selalu ngerasa kurang puas!). Dan hal yang harus saya tahu adalah: suatu cerita itu tidak ada yang 100% bagus, selalu punya kekurangan. Jadi... bagaimana pun hasilnya, harus tetap dikirim!

Mulanya, bingung mau kirim lewat mana. Pos atau email. Saya berencana kirim lewat pos, tapi karena waktunya mepet, saya memilih lewat email. Email terkirim, dan sempat cemas juga kalau masuk spam nantinya. Tapi saya tidak peduli... lagian saya tidak terlalu berharap untuk menang... lagian kalau menang, saya juga tidak bakal ke Jakarta.

Bahkan menjelang pengumuman, saya tidak deg-degan sama sekali, tidak menanti sama sekali (yah, meskipun penasaran, sih), dan tidak berharap menang.

Tapi... ketika saya mendapat link yang berisi pengumuman pemenang dari Bukune...

...saya akui, saya deg-degan. Cemas. Takut. Ada sebersit perasaan untuk menang.

Saya buka link itu, baca daftar nama-nama pemenang. Nama pertama, tidak ada nama saya. Nama kedua, tidak ada. Nama ketiga, tidak ada juga. Dalam hati saya sedikit mengeluh, "Nggak pernah lihat nama sendiri di daftar pengumuman."

Saya tidak tahan baca satu-satu, bikin makin deg-degan.

Alhasil, saya baca langsung ke bawah. Dan, YA! SAYA LIHAT NAMA SAYA!!! Di bawah nama saya, saya lihat nama Gita! ALHAMDULILLAH!


Saya langsung sms Gita...

"JANGAN BACA PENGUMUMANNYA!"

"Kenapa? :("

"Kita menang. Ternyata nggak ada yang sia-sia, ya, Git. :')" Saya speechless banget saat itu.

Saya tidak tahu harus ngapain lagi. Rasanya pengen teriak kencang-kencang saking bahagianya. Pengen loncat tinggi.... that feeling was so awesome and fun

Dan... satu hal yang mengejutkan: Selain Gita, Eros Rosita juga keterima di lomba itu!!! Masya Allah! It was too good to be true, but it was real!

Mereka adalah sahabat terbaik di dunia maya. Sering chatting. Ngomongin tentang tulisan. Ngomongin tentang ide-ide baru. Ngomongin tentang apa aja. Dan... kita dipertemukan di acara kepenulisan ini. It was a happy ending if it was a novel.

Niatan untuk tidak ke Jakarta mendadak pudar, berganti dengan perasaan tidak sabar ke sana. Saya berpikir, jika saya tidak ke Jakarta, saya benar-benar menyia-nyiakan kesempatan yang sudah saya perjuangkan sebelumnya. Kapan lagi diundang penerbit sekelas Bukune untuk ikut diskusi di Jakarta?

Tidak sabar ke Jakarta untuk menangkap mimpi-mimpi itu.

Thanks, Bukune.

***

Behind the scene berikutnya akan jadi postingan baru yang belum pernah saya publish sebelumnya. Ceritanya sekilas tentang pengalaman saya di acara Bukune (dan betapa ndesonya saya.) Dan, kisah bagaimana Dilema bisa disetujui oleh Bukune. :)

Catch me on Twitter @AlviSyhrn


Postingan ini saya tulis ketika kesibukan sedang melanda, menghambat saya ketika menulis novel Dilema.

***

Akhirnya, bab enam sudah terselesaikan dua hari yang lalu. Cukup puas membaca hasilnya, meskipun bab ini adalah bab dengan jumlah halaman yang paling sedikit.

Karena hari Sabtu kemarin sibuk mengerjakan proyek PKL, diikuti kegiatan malam minggu dadakan bareng sepupu, akhirnya saya tidak dapat apa-apa di hari Sabtu itu.

Maka, baru kemarin malam saya sempat menuliskan plot detail bab tujuh. Saya men-deadline-kan diri sendiri untuk menyelesaikan paling lambat besok. Tapi, kok, susah banget ya disiplin terhadap diri sendiri?

Saya menargetkan novel ini selesai akhir Mei. Kalau saya nggak memasang target, novel ini nggak akan selesai-selesai. Di handphone, saya selalu mengaktifkan to-do-list yang ditampilkan di wallpaper. Kalau kamu sempat meminjam handphone saya, kamu akan mendapati "17/04 Bab VII." Yang berarti saya harus menyelesaikan naskah ini sebelum hari Rabu.

Dan, sampai sekarang saya belum menulis.

Bukan karena tidak mood.

Bukan juga karena lagi malas..., yah meskipun sering juga sih malas nulis.

Tapi lebih kepada kesibukan. Ehem.

Weekdays rules. Jadwal kuliah selalu padat, pulang sore hari. Sampai di rumah sudah capek. Belum lagi tugas-tugas yang menanti untuk dikerjakan. Belum lagi proyek PKL yang selalu bikin stres setiap kali mengingatnya. Belum lagi kesibukan-kesibukan lain di rumah.

Tapi, ini bukan berarti berhenti, kan?

Sesibuk apa pun saya, saya selalu berusaha menyediakan waktu bagi saya sendiri. Biasanya, sebelum tidur, sehabis mengerjakan tugas, saya akan duduk di atas tempat tidur saya. Menyandarkan punggung di dinding yang dilapisi bantal. Bermain-main dengan tokoh-tokoh rekaan. Melanjutkan kisah mereka dengan sebuah senyum di bibir.

Selalu merasa damai ketika menulis.

Ah, ya, foto di atas adalah tempat di mana saya sering menulis naskah dengan handphone.

BESOK BAB TUJUH HARUS SELESAI! HARUS!!!

***

Dan,  teman-teman sudah bisa baca bab enam dan tujuh, bab yang saya tulis di puncak kesulitan dan kesibukan kuliah saya. :p


Ini juga postingan yang saya tulis jauh sebelum novel Dilema terbit. Postingan ini saya tulis ketika saya merasa down karena saya selalu tidak puas dengan naskah Dilema. Dan, teman-teman yang menulis novel juga pasti merasa down di pertengahan proses menulis.

***

Memulai selalu susah. Terlebih lagi kalau kita adalah seseorang yang perfectionist. Mungkin, kita semua pernah menghapus draf-draf yang sudah kita tulis hanya karena kurang sreg.

Baiklah, lupakan masalah itu dulu.

Jadi, saya menulis naskah Our Home (read: Dilema) ini pertama kali ketika masih KKN di Jombang, bulan Februari kemarin. Sudah tiga bulan, ya. Harusnya novel ini sudah selesai. Tapi kamu tahu sekarang saya sedang menuliskan bab berapa? Masih bab enam, dari sekian bab. Lama sekali, ya?

Tidak, saya sama sekali tidak bermalas-malasan. Perasaan saya selalu menggebu-gebu. Tapi ketika saya telah mencapai bab tujuh, pertengahan Maret lalu, seorang teman berkomentar 'terlalu cepat alurnya'. Mulanya, saya hanya ingin menyimpan komentar-komentar dulu, untuk diedit belakangan saja. Tapi tangan saya selalu gatal untuk mengedit. Saya tidak bisa membiarkan tulisan saya jadinya begitu saja.

Akhirnya, pertengahan Maret kemarin, saya memutuskan untuk mengeditnya. Setelah mengedit, saya merasa, kok kurang pas, ya?

Prinsip saya:
Menulislah apa yang kamu suka, karena itulah yang pembaca akan suka.

Jadi, saya benar-benar mulai dari nol Maret kemarin. Iya, benar-benar dari nol. Saya tulis plotnya ulang supaya lebih jelas dan logis, dan tidak terlalu cepat. Saya tidak perlu menulis ulang biodata tokoh, karena saya sudah sangat mengenal mereka dengan baik. Tapi saya harus menghapus salah satu tokoh karena saya anggap hanya keluar selintas, lalu hilang begitu saja sejak pertengahan sampai ending. Dan, ini cukup berpengaruh dengan plot cerita.

Penghujung Maret, saya menulis ulang. Tapi, memulai itu selalu susah.

Tulis kalimat pertama, hapus. Tulis lagi, hapus lagi. Terkadang, saya benci sifat
perfectionist ini dalam diri saya.

Tapi, ini bukan berarti mundur, kan? Saya benar-benar menggali pikiran saya, lalu menuangkan tulisan melalui hati. Hasilnya?

Semua berubah.

Benar-benar berubah drastis.

Dan, saya jauh lebih suka versi revisi ini. Menurut saya, ini lebih real dan natural. Menurut saya, lho, ya.

Sekarang, sudah pertengahan April, harusnya saya sudah mencapai bab belasan. Tapi, tugas, proyek PKL, dan sikap
perfectionist itu tidak mengizinkan saya untuk berjalan sejauh itu. Saat ini, saya masih stuck di bab enam.

Tidak buntu, sih. Hanya ini masalah waktu. Belum ada waktu untuk menulis, tapi malam ini bab ini harus selesai! Tinggal satu adegan lagi, kok.

Bukan hanya masalah waktu, tapi sifat
perfectionist itu. Dalam menulis naskah ini, saya sering hapus-ulang-hapus-ulang. Saya akan benar-benar lanjut menulis adegan berikutnya jika saya benar-benar srek dengan apa yang saya tulis sebelumnya. Jika tidak, tak ada mood untuk melanjutkan.

Tapi, saya juga harus bersyukur sama sifat ini. Setidaknya, dengan ke-
perfectionist-an ini, saya jadi tidak perlu banyak mengedit di akhir nanti tulisan nanti. Tulis-hapus-tulis-hapus itu tidak masalah, yang penting menghasilkan.

Anyway, the real writing is re-writing.

***

Ya, jadi, novel Dilema yang kamu baca sekarang sangat jauh berbeda dengan yang saya tulis kali pertama dulu. Saya berkali-kali tulis-hapus-tulis-hapus, dan Alhamdulillah saya bisa menyelesaikannya, dan ini jadi lebih layak untuk kamu baca.




Saya menulis postingan ini ketika saya masih mengerjakan novel Dilema--dulu judulnya masih 'Our Home'. Dan, ketika menuliskan 'diary of my novel' ini, saya sama sekali tidak ada pandangan bahwa novel Dilema akan terbit beberapa bulan kemudian. Sama sekali tidak menyangka. Sungguh kuasa Allah.

***

Tahu novel Perahu Kertas-nya Dewi Lestari, kan? Sebelum novel ini dirilis, Dewi Lestari, yang sering disapa Dee, selalu rajin memosting perkembangan novelnya setiap harinya. Sepertinya seru kalau saya ikut-ikutan cara itu. Karena bagaimana pun, suatu saat nanti, saya akan kangen masa-masa penulisan novel ini.

Saya memang bukan Dewi Lestari yang naskah novelnya sudah ditunggu-tunggu penerbit untuk diterbitkan. Saya bahkan tidak punya kenalan orang penerbit, tapi saya tahu harus saya bawa ke mana naskah ini. Biar waktu yang menjawab.

Awal-awal suka menulis dulu, saya ingin sekali bisa nulis novel. Tapi mengingat kemampuan menulis yang masih lemah, saya melatih diri dulu dengan sering-sering menulis cerpen. Saya tidak sekadar menulis cerpen, tapi juga mengirimkannya, ingin tahu apakah tulisan saya memang layak atau tidak.

Mulanya, penolakan yang selalu saya dapat. Diberi kabar oleh suatu majalah kalau naskah saya tidak layak muat. Tapi, nggak sedikit juga yang nggak memberi kabar. Bikin PHP aja.

Tapi...

Time walks, skill grows.

Semakin sering saya ditolak, semakin saya kuat. Semakin sering kita menulis, semakin bagus tulisan kita. Sampai akhirnya, saya mengetahui kalau beberapa cerpen saya dimuat di majalah dan menang sebuah lomba yang akhirnya dibukukan.

Maka, saya memberanikan diri untuk menulis novel. Setidaknya, tulisan saya nggak jelek-jelek amat.

Tapi, naskah novel pertama saya berakhir menggantung. Saya tidak bisa menyelesaikannya sampai habis karena merasa konflik yang terlalu banyak dan bingung bagaimana harus fokus pada satu konflik utama.

Bukan berarti saya menyerah begitu saja. Tahun 2011 kemarin, saat saya masih menulis naskah pertama, saya kepikiran sebuah ide novel yang kayaknya keren jika ditulis. Ceritanya, sih, simple. Tentang persahabatan [dan sekarang teman-teman sudah membacanya, kan? :)]. Tapi, selama saya baca novel, saya belum pernah menemukan novel yang idenya sama seperti ide novel saya ini. Dalam artian, sama persis lho, ya.

Akhirnya, setelah memutuskan berhenti menulis naskah pertama (rasanya berat!), saya pun mulai menggali ide novel yang saya temukan tahun 2011 kemarin.

Menggali ide itu tidak semudah berimajinasi. Benar-benar harus berpikir keras, karena novel bukan sekadar imajinasi, tapi bagaimana imajinasi itu bisa masuk akal. And, well, memikirkan ide sama seperti menyelesaikan soal matematika. Gampang-gampang susah. Sampai akhirnya, saya benar-benar menemukan ide yang fix!

Lalu, saya tulis biodata tokohnya, mereka adalah Kira, Estrella, dan Adri. Saya berusaha 'berkenalan' dengan mereka, sampai akhirnya mereka sering bermain-main di kepala saya. Memaksa saya untuk melanjutkan cerita mereka. I really love this feeling.

Kemudian, saya tulis plot inti dari awal sampai akhir. Sesudah itu, saya baca ulang plotnya. Dan, saya merasa harus cepat-cepat menuliskannya!

Ini bukan sekadar cerita yang harus saya tulis, tapi juga harus saya baca.

Semoga suatu saat nanti bisa terbit.

***

Dan, Alhamdulillah, novel Dilema sudah terbit. Mungkin salah satu dari kalian sudah membacanya? :D

===
===