Kerja untuk Hidup atau Hidup untuk Kerja?

by 4:53 AM 3 komentar

I hear music through words.

Kau tahu satu hal paling indah di dunia ini? Begini alurnya:

1. Ketika kau mendengar deru mesin motor yang mendekat ke arah rumahmu.
2. Suara itu berhenti tepat di depan rumahmu.
3. Seseorang mengetuk pintu.
4. Kau membuka pintu, dan seorang kurir menyerahkan sebuah bingkisan untukmu. Sebelum kau membuka kado itu, kau sudah tahu apa isinya, dan kau semakin tak sabaran.


***

Saat itu Sabtu malam, dan saya membuka bingkisan dari Pak Kurir. Isinya, Perempuan-Perempuan Tersayang.

Seperti saya bilang tadi, kali ini, saya ingin menikmati buku layaknya musik. Jadi, kala melihat sampul ini pada kali pertama, saya membayangkan album-album dari band indie yang cenderung underrated, tapi, di balik sampul tersebut, menyimpan potensi: lirik-lirik yang dalam dan bermakna dan instrumen-instrumen sederhana. Ini adalah tipikal sampul sederhana yang saya suka. Gambar rumah kecil itu adalah favorit saya.

Malam itu juga, saya telusuri halaman-halamannya,

Jadi, mari kita dengar bukunya, layaknya sebuah musik.

Halaman satu...

Saya bisa mengatakan saya menyukai sebuah lagu dalam beberapa detik pertama, begitu pula sebaliknya. Sejujurnya, bila ini adalah intro sebuah lagu, ini bukan tipikal intro yang saya sukai. Intro-nya tidak seindah seperti A Thousand Miles milik Vanessa Carlton atau penuh intrigue layaknya Blank Space milik Taylor Swift. Ini seperti intro band-band indie yang sederhana saja, belum terdengar istimewanya. Well, when it comes to music, saya memang mainstream, kok.

Saya mengharapkan pembukaan yang dramatis, tapi itu tak membuat saya berhenti membacanya.

Halaman lima...
Saya mulai merasakan ritmenya, saya mulai menebak-nebak ini akan berjalan ke mana, berharap ekspektasi saya tepat karena saya akan menyukainya seperti itu.

Membaca halaman lima seperti mendengar bagian sebelum chorus. Bagian jelang reff selalu membuatmu penasaran, semakin intens dalam mendengar, dan bertanya-tanya..., dan itulah yang saya rasakan di halaman keenam, saya mulai menyukai musik dari buku ini. Halaman ketujuh, dan reff tak kunjung dipecahkan, tapi nuansanya semakin meningkat, meningkat, dan meningkat.

Halaman delapan, saat itulah reff pecah, dengan nuansa yang tak sesederhana intro, dengan perasaan yang bercampur aduk, dan segalanya.

Tiba di halaman sepuluh, reff pertama berakhir, saya bergumam pada diri sendiri, "I. Like. It. Already."

***

Yang terjadi pada sepuluh halaman pertama adalah konflik pertama yang memulai segalanya. Berdasarkan cerita, konflik ini terjadi di Jakarta, di sebuah rumah kontrakan milik kakak-beradik perempuan yang merantau, dan konflik ini menyebabkan kakak laki-laki mereka dari Nusa Tenggara Timur harus datang ke Jakarta, dan membawa mereka pulang ke kampung halaman. Harus. Tidak pakai "tapi".

Tetapi, pulang tak semudah itu.

Kakak-beradik perempuan itu masih butuh berada di Jakarta. Sang kakak perempuan adalah seorang fresh graduate yang berprestasi dan mulai mendapatkan beberapa panggilan wawancara kerja. Sang adik perempuan masih terdaftar di sebuah SMA di Jakarta.

Pulang harusnya jadi hal yang indah dan hangat, tapi sesuatu yang terjadi pada mereka menjadikan pulang adalah beban.

Selamat tinggal, Jakarta.

Halo, SoE.

***

Di SoE, konflik semakin berkembang dan memanas, ritme musik dari buku ini semakin kena di telinga dan di hati. Semakin dalam saya menelusuri buku ini, semakin saya sadar bahwa saya menyukainya. Memang, musik dari buku ini amat sederhana, tapi, seperti dugaan saya tadi, liriknya amat mendalam. Musik dari buku ini akan membuatmu mengambil momen sejenak untuk menutup mata, lalu menyerap makna dari kata-kata yang tertulis, dan kamu akan memberi beberapa anggukan, bukan karena asik mengikuti ritmenya, melainkan karena kalimat-kalimatnya yang begitu kena.

Beberapa kali, saya mengambil momen untuk menutup buku ini dan berpikir. Sebuah pertanyaan muncul dalam kepala:

Mana yang kamu pilih: Mengambil pekerjaan di luar kota, yang jauh dari kampung halamanmu, tapi amat menjanjikan untuk masa kini dan masa depanmu atau memilih tinggal bersama keluarga di kota yang belum berkembang (termasuk lapangan pekerjaannya) tapi keluarga sedang membutuhkanmu saat itu, tak tahu hingga kapan?

Kamu hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup?

Sekarang, saya menanyakan ini kepadamu. Mana yang kamu pilih?

Mungkin mudah mengatakan, "Ya, jelaslah lebih memilih keluarga," yet there goes the "tapi"'s part. Dan, itulah yang ditawarkan buku ini: ia realistis. Tokoh utama dalam buku ini mewakili diri kita. Kita merasakan kebingungannya dalam memilih. Kita merasakan kemarahannya akan sesuatu yang terjadi di awal tadi. Saya bahkan ikut tak bisa menebak akhir cerita.

Yah, suara di kepala saya terus mengatakan, "Endingnya mungkin begini, begitu."

Tetapi, kondisi tokoh ini amat terjepit. Ini tidak semudah memilih: Mana cowok/cewek yang kamu ingin jadikan pasangan? (Itu pilihan yang sulit juga, tapi ini pilihan yang lebih kompleks, yang bisa saja terjadi setelah mendapatkan pasangan). Dan, tiap pilihan mengandung risiko, luka dan, mungkin, penyesalan.

Jika memilih keluarga di kampung halaman dalam waktu yang tak tahu hingga kapan, bagaimana dengan pekerjaan? Bagaimana masa depan?

Jika memilih pekerjaan, otomatis harus meninggalkan kampung halaman, karena tak ada lowongan di sana--ini nyata. Apalagi sebagaimana kata orang-orang, kamu adalah lulusan sarjana, masa, iya, kerja di kota kecil?

Well, this book has it all: tentang masalah-masa-kini; yang mungkin dialami orang-orang di luar sana, yang kelewat tergoda akan gaji yang tinggi hingga melupakan prioritas, terobsesi pada pekerjaan, sampai-sampai menggunakan jam off mereka untuk lanjut--bukan karena cinta, tapi takut kehilangan atau penurunan jabatan, yang bingung harus pindah atau menetap. Buku ini mengajarkan saya bahwa tidak ada pilihan yang paling benar, tidak ada yang paling salah--tapi, diri kita sendiri selalu tahu mana pilihan yang tepat...

***

Secara keseluruhan, saya suka sekali dengan pesan dari buku ini. Saya senang tidak ada tokoh yang paling salah, tidak ada tokoh yang paling benar--sebagaimana manusia, masing-masing tokoh tersebut punya kesalahan juga, dan mereka belajar, saya pun belajar. Saya senang konflik di sepanjang cerita. Saya berharap merasakan feel dari SoE lebih mendalam, tapi kisah dalam buku ini sudah memuaskan. Saya tak butuh lebih. Terakhir, saya suka bagaimana penulis mengakhiri kisahnya, dan kalimat pertama pada paragraf terakhir.

Jika ini musik, ini adalah musik yang sederhana: hanya ditemani gitar akustik, tapi liriknya begitu dalam, dilantunkan dengan perasaan yang pas.

Dan, kadang-kadang, kita tidak butuh musik yang hingar-bingar, cukup lirik sederhana dengan pesan yang membuat kita merefleksikan hidup. Seperti yang dilakukan buku ini kepada saya.

***

Saya merekomendasikan buku ini untuk siapa pun yang membaca tulisan ini.

Alvi Syahrin

Developer

A dream-oriented person since 1992. Telah menerbitkan dua novel: Dilema; Tiga Cerita untuk Satu Rasa dan Swiss; Little Snow in Zurich. Tak lama lagi, novel ketiganya, yang berjudul "I Love You; I Just Can't Tell You" akan terbit. Saat ini, selain merampungkan novel keempat, dia juga sedang mempersiapkan proyek-proyek untuk masa depan. Dan, satu hal yang selalu dia genggam erat dalam hidup ini: Akan ada sesuatu yang lebih baik dari sebuah kegagalan. Allah selalu tahu mana yang terbaik. Lagi pula, hidup tak melulu di dunia. Kau bisa menyapanya lewat Twitter, Instagram, dan ask.fm: AlviSyhrn.

3 comments:

  1. Saya sendiri adalah seorang perantau. Kalau kamu tanya gitu ke saya, saya jadi mikir. Mikir dua kali tiga kali. Iya ya kerja untuk hidup apa hidup untuk kerja ?
    Karna pada dasarnya saya berpikir saya kerja untuk hidup, dan melanjutkan kuliah
    Tapi di kala jam jam kerja yang tak ada habisnya, lembur setiap hari bahkan lembur di hari libur tanpa di gaji karena takut akan beberapa alasan seperti diatas membuat saya berpikir, apa saya ini terlali hidup untuk bekerja saja ?
    Hmm saya jadi penasaran abis baca review ini. Masuk whislist want to read di goodreads kalau gitu mah ^^

    ReplyDelete
  2. Nusa Tenggara Timur. Hanya beberapa minggu saja saya di sana, tapi saya sudah cinta pada alamnya, pada ketenangannya, pada keramahan dan keceriaan warganya.

    Lalu tentang memilih. Iya, memilih itu memang sulit ya. Pada akhirnya, ketika mentok pada suatu pilihan, yang bisa dilakukan tak lebih dan memang harus: percaya pada Allah.

    Sepertinya bukunya bagus ^^

    ReplyDelete