EP 2: Cara Menyenangkan Memulai Halaman Pertama Novelmu

by 7:41 AM 2 komentar
Memulai halaman pertama dari sebuah novel tak pernah mudah. Jangankan halaman pertama, kalimat pertama pun berujung pada ketik-hapus-ketik-hapus-dan-siklus-ini-takkan-pernah-berakhir. Meninggalkan pointer-mu dalam keadaan kedap-kedip membuatmu semakin bingung.

"Apa yang harus kutulis?"

Ketika menulis novel I Love You; I Just Can't Tell You, beruntungnya, atas kehendak Allah, saya menemukan kalimat pertama secara langsung. Tahu-tahu, kumpulan kata itu muncul begitu saja dalam kepala, seolah sang karakter membisikkan kepada saya,




Namun, tentu, sebelum kalimat pertama itu muncul, ada beberapa hal yang saya lakukan untuk "memancingnya". Selain membuat outline dan biodata tokoh agar semakin mengenali tokoh-tokohnya, saya juga mengambil setiap novel yang ada di rak buku, membaca kalimat-kalimat pertamanya, mempelajari bagaimana para penulis memulai kisah mereka. (Sesungguhnya, sampai hari ini, saya selalu menggunakan cara tersebut bila tak kunjung menemukan kalimat pertama di permulaan bab, and it works!).

Oh, lalu, ada satu hal yang perlu kau ingat... Saat ini, sudah bukan masanya lagi membuka novel dengan adegan semacam: terlambat bangun pagi, buru-buru ke sekolah, and all the things you can imagine. Juga, sudah bukan jamannya lagi mengawali sebuah kisah dengan deskripsi cahaya matahari yang bla bla bla, cicitan burung yang bla bla bla. Bagaimana untuk menghindari ini? Ya, hindarilah. Sesederhana itu. Dan, yang terpenting, kau harus banyak, banyak membaca agar tulisanmu tidak akan out of style. Perbanyak pula membaca buku-buku terbitan terbaru untuk merasakan "the current"--kekiniannya. Bukan berarti kau harus mengikutinya, ya, kau hanya perlu tahu, dan itu penting.

***

Oke, sekarang, mungkin kamu sudah menemukan kalimat pertama setelah banyak membaca kalimat pertama dari novel-novel di rak bukumu. Namun, melanjutkannya... kok tetap tidak mudah?

Sebenarnya, ketika kau sudah menemukan kalimat pertama, segalanya akan berjalan lebih lancar, lebih mulus. Beberapa penulis berpendapat, teruslah menulis, meskipun itu jelek, akan ada waktu untuk mengedit nanti. Jadi, apa yang ada di kepalamu saat ini, tuliskan saja apa adanya dulu. Meskipun ini kalimat pertama, meskipun ini halaman pertama, ini bukanlah draf final.

***

Masih kesulitan juga?

Well. Ini bagian yang paling menyenangkan. Kadang, ketika kita hendak menulis, semua kalimat, semua adegan, bercampur aduk di dalam kepala. Otak kita berpikir lebih cepat dari tangan kita yang sedang mengetik.

Ini... mungkin membantu.

Ketika hendak menulis bab pertama I Love You; I Just Can't Tell You, di dalam kepala saya, saya berusaha mengorganisir kembali pikiran saya, menyederhanakan kembali tentang apa saja yang akan terjadi. Saya buat alur di dalam kepala:

- Daisy pulang dengan buru-buru karena ingin ketemu "dia".
- Daisy, secara diam-diam, mengekori "dia" menuju kampus. Padahal Daisy cuma anak SMA.
- Daisy, secara berani, ikut masuk ke dalam kelas "dia", di kampus. Padahal dia jelas anak kuliahan, sudah semester akhir, dan Daisy telah mengambil sebuah risiko.
- Dan, risiko itu terjadi: ketika sang dosen meminta mereka untuk membentuk kelompok, "dia" memilih Daisy, dan "dia" tak tahu bahwa Daisy cuma murid selundupan, cuma murid SMA yang tak tahu apa-apa.
- Namun, itu... yang membuat mereka nantinya menjadi dekat.

Setelah itu, saya menyegarkan pikiran dengan mencari gambar-gambar yang berhubungan dengan alur di atas, juga yang berhubungan dengan tokohnya sekadar untuk menambah feel.

Ini yang saya temukan...


Sebenarnya, gambar ini hanya untuk mendapatkan feel "mungil"nya Daisy. Walaupun dia tak semungil ini, kok.

Menma - Ini bukan Daisy. Saya menemukan gambar ini (dan mengenal tokoh di atas ini) setelah selesai menuliskan I Love You; I Just Can't Tell You. Namun, ketika saya melihat tokoh ini, Menma, saya langsung berpikir, "Wah, ini Daisy banget!!!" Namun, saat kau membacanya nanti, kau pasti memiliki Daisy versimu sendiri.


Terlepas Daisy yang tidak tumbuh secara fisik di usianya yang ke-enambelas, Daisy tetap merupakan tokoh yang ceria. She's not a girl who cries all night long thinking, "WHY ME?"



Namun, bila kau menjadi Daisy, tak tumbuh karena masalah hormon, kau pasti, setidaknya sekali, merenung tentang masa depanmu. Apakah seterusnya kau akan seperti ini? Seperti anak kecil? Teman-temanmu tumbuh, tapi kau tidak. Seperti dunia terus berjalan, sementara bagimu dunia selalu dalam mode pause.



Lalu, itu membuatmu berpikir... dengan tubuh seperti ini, akankah ada yang menerimamu?

Karena, tepat saat itu, kau sedang jatuh cinta. Dan, kau tak ingin menyerah. Karena, bagi Daisy, laki-laki ini lebih dewasa dari teman-teman sekelasnya. Tentu, tak akan berpikiran dangkal, bukan? Maka dari itu, dia mencoba. Menggebu-gebu.
Daisy senang, khawatir, cemas, salah tingkah saat usahanya mulai menunjukkan jalan.

Saat "dia" menatap kedua matanya, di depan kelas, dan menanyakan tentang... (nggak mau spoiler, ah)
Dalam kepala, deretan gambar ini akan membentuk kalimat, kalimat, dan kalimat... dan membuat halaman pertamamu akhirnya terisi! :)
***

Hal lain yang perlu kau ketahui tentang halaman pertama ialah ia begitu penting. Di dapur redaksi, halaman pertama menentukan segalanya. Jika menarik, maka peluang untuk terus dibaca semakin besar. Jika tidak..., hmm, mungkin naskahmu hanya dibaca hingga halaman sekian saja. Namun, tak semua anggota redaksi menghakimi naskahmu dari halaman pertama. Tentunya, mereka yang lebih ahli akan mempelajari dan menilai naskahmu dari berbagai sisi.
Namun, halaman pertama tetaplah krusial. Beberapa pembaca akan menentukan, "Apakah aku harus beli buku ini atau tidak, ya?" dari halaman pertamamu.
Lantas, bagaimana membuat halaman pertama yang menarik?
Tarulah konflik di sana. Konflik tak berarti pertengkaran atau drama, ya. Konflik juga tak melulu sesuatu yang "besar". Konflik adalah sesuatu yang mendesakkan tokohmu, yang membuat pembaca berpikir, "Wah, apalagi nih yang terjadi di halaman perikutnya?"
Seperti yang dialami Daisy... dia masuk ke ruang kelas seorang mahasiswa, padahal dia hanya gadis SMA, dan terperangkap dalam kelompok tugas mahasiswa...
Apa yang terjadi pada dirinya... di halaman berikutnya?
Dan, aku tersadar kalau baru saja melakukan kesalahan fatal.
***
Terima kasih telah membaca episode kedua dari Behind the Scene I Love You; I Just Can't Tell You ini! (Klik --> ini <-- episode="" membaca="" pertama.="" untuk--="" untuk="">
Pada episode ketiga, saya akan berbagi tentang... kata orang-orang, kita harus menulis kisah yang berbeda, apakah itu benar? Dan, hal ini selalu membuat kita maju-mundur. Duh, kisahku klise nggak, ya? Pada episode berikutnya, saya juga akan mengisahkan tentang para tokoh-tokoh di novel I Love You; I Just Can't Tell You. Insya Allah, akan diposting pada tanggal 9 Agustus 2015. Dua hari lagi, jika segalanya lancar, insya Allah.
***
Sekarang, di kepalamu, kalimat pertama apa yang sedang muncul di sana?  :)

Alvi Syahrin

Developer

A dream-oriented person since 1992. Telah menerbitkan dua novel: Dilema; Tiga Cerita untuk Satu Rasa dan Swiss; Little Snow in Zurich. Tak lama lagi, novel ketiganya, yang berjudul "I Love You; I Just Can't Tell You" akan terbit. Saat ini, selain merampungkan novel keempat, dia juga sedang mempersiapkan proyek-proyek untuk masa depan. Dan, satu hal yang selalu dia genggam erat dalam hidup ini: Akan ada sesuatu yang lebih baik dari sebuah kegagalan. Allah selalu tahu mana yang terbaik. Lagi pula, hidup tak melulu di dunia. Kau bisa menyapanya lewat Twitter, Instagram, dan ask.fm: AlviSyhrn.

2 comments:

  1. Ya ampun Kak, may Allah bless you. Seneng baca postingannya karena bisa dapet ilmu baru di blogmu. Padahal awalnya cuma suka novelmu. Terus jadi follow blogmu dan nggak nyesel. Makasih buat sharingnya. Semoga lancar buat postinga ep 3 dan aku tunggu. Happy to come here :)

    ReplyDelete
  2. Kakakkkk keep going!! Ini bener bener ngebantu aku maksih yaa ka

    ReplyDelete