Ketika aku ditolak, sebenarnya, aku tidak benar-benar ditolak; aku diselamatkan dari penerimaan yang lebih merugikan dari penolakan itu sendiri.

Ketika aku gagal, sebenarnya, aku tidak benar-benar gagal; aku hanya belajar: tentang penyebab kegagalan yang, di kemudian hari, tak akan diulangi lagi, tentang mengontrol diri saat berada di posisi terbawah dan tentang menyadari bahwa hidup tidak pernah tentang naik, naik, dan naik, melainkan naik, turun, naik, turun. Karena bila kita hanya naik, naik, naik, kita tidak akan pernah tiba pada puncak sesungguhnya, seakan ini pendakian yang tak berakhir. Sementara itu, kehidupan yang naik-turun-naik-turun, itu rasanya seperti berdiri di sebuah lembah atau bukit--isn't it beautiful?

I hear music through words.

Kau tahu satu hal paling indah di dunia ini? Begini alurnya:

1. Ketika kau mendengar deru mesin motor yang mendekat ke arah rumahmu.
2. Suara itu berhenti tepat di depan rumahmu.
3. Seseorang mengetuk pintu.
4. Kau membuka pintu, dan seorang kurir menyerahkan sebuah bingkisan untukmu. Sebelum kau membuka kado itu, kau sudah tahu apa isinya, dan kau semakin tak sabaran.


***

Saat itu Sabtu malam, dan saya membuka bingkisan dari Pak Kurir. Isinya, Perempuan-Perempuan Tersayang.

Seperti saya bilang tadi, kali ini, saya ingin menikmati buku layaknya musik. Jadi, kala melihat sampul ini pada kali pertama, saya membayangkan album-album dari band indie yang cenderung underrated, tapi, di balik sampul tersebut, menyimpan potensi: lirik-lirik yang dalam dan bermakna dan instrumen-instrumen sederhana. Ini adalah tipikal sampul sederhana yang saya suka. Gambar rumah kecil itu adalah favorit saya.

Malam itu juga, saya telusuri halaman-halamannya,

Jadi, mari kita dengar bukunya, layaknya sebuah musik.

Halaman satu...

Saya bisa mengatakan saya menyukai sebuah lagu dalam beberapa detik pertama, begitu pula sebaliknya. Sejujurnya, bila ini adalah intro sebuah lagu, ini bukan tipikal intro yang saya sukai. Intro-nya tidak seindah seperti A Thousand Miles milik Vanessa Carlton atau penuh intrigue layaknya Blank Space milik Taylor Swift. Ini seperti intro band-band indie yang sederhana saja, belum terdengar istimewanya. Well, when it comes to music, saya memang mainstream, kok.

Saya mengharapkan pembukaan yang dramatis, tapi itu tak membuat saya berhenti membacanya.

Halaman lima...
Saya mulai merasakan ritmenya, saya mulai menebak-nebak ini akan berjalan ke mana, berharap ekspektasi saya tepat karena saya akan menyukainya seperti itu.

Membaca halaman lima seperti mendengar bagian sebelum chorus. Bagian jelang reff selalu membuatmu penasaran, semakin intens dalam mendengar, dan bertanya-tanya..., dan itulah yang saya rasakan di halaman keenam, saya mulai menyukai musik dari buku ini. Halaman ketujuh, dan reff tak kunjung dipecahkan, tapi nuansanya semakin meningkat, meningkat, dan meningkat.

Halaman delapan, saat itulah reff pecah, dengan nuansa yang tak sesederhana intro, dengan perasaan yang bercampur aduk, dan segalanya.

Tiba di halaman sepuluh, reff pertama berakhir, saya bergumam pada diri sendiri, "I. Like. It. Already."

***

Yang terjadi pada sepuluh halaman pertama adalah konflik pertama yang memulai segalanya. Berdasarkan cerita, konflik ini terjadi di Jakarta, di sebuah rumah kontrakan milik kakak-beradik perempuan yang merantau, dan konflik ini menyebabkan kakak laki-laki mereka dari Nusa Tenggara Timur harus datang ke Jakarta, dan membawa mereka pulang ke kampung halaman. Harus. Tidak pakai "tapi".

Tetapi, pulang tak semudah itu.

Kakak-beradik perempuan itu masih butuh berada di Jakarta. Sang kakak perempuan adalah seorang fresh graduate yang berprestasi dan mulai mendapatkan beberapa panggilan wawancara kerja. Sang adik perempuan masih terdaftar di sebuah SMA di Jakarta.

Pulang harusnya jadi hal yang indah dan hangat, tapi sesuatu yang terjadi pada mereka menjadikan pulang adalah beban.

Selamat tinggal, Jakarta.

Halo, SoE.

***

Di SoE, konflik semakin berkembang dan memanas, ritme musik dari buku ini semakin kena di telinga dan di hati. Semakin dalam saya menelusuri buku ini, semakin saya sadar bahwa saya menyukainya. Memang, musik dari buku ini amat sederhana, tapi, seperti dugaan saya tadi, liriknya amat mendalam. Musik dari buku ini akan membuatmu mengambil momen sejenak untuk menutup mata, lalu menyerap makna dari kata-kata yang tertulis, dan kamu akan memberi beberapa anggukan, bukan karena asik mengikuti ritmenya, melainkan karena kalimat-kalimatnya yang begitu kena.

Beberapa kali, saya mengambil momen untuk menutup buku ini dan berpikir. Sebuah pertanyaan muncul dalam kepala:

Mana yang kamu pilih: Mengambil pekerjaan di luar kota, yang jauh dari kampung halamanmu, tapi amat menjanjikan untuk masa kini dan masa depanmu atau memilih tinggal bersama keluarga di kota yang belum berkembang (termasuk lapangan pekerjaannya) tapi keluarga sedang membutuhkanmu saat itu, tak tahu hingga kapan?

Kamu hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup?

Sekarang, saya menanyakan ini kepadamu. Mana yang kamu pilih?

Mungkin mudah mengatakan, "Ya, jelaslah lebih memilih keluarga," yet there goes the "tapi"'s part. Dan, itulah yang ditawarkan buku ini: ia realistis. Tokoh utama dalam buku ini mewakili diri kita. Kita merasakan kebingungannya dalam memilih. Kita merasakan kemarahannya akan sesuatu yang terjadi di awal tadi. Saya bahkan ikut tak bisa menebak akhir cerita.

Yah, suara di kepala saya terus mengatakan, "Endingnya mungkin begini, begitu."

Tetapi, kondisi tokoh ini amat terjepit. Ini tidak semudah memilih: Mana cowok/cewek yang kamu ingin jadikan pasangan? (Itu pilihan yang sulit juga, tapi ini pilihan yang lebih kompleks, yang bisa saja terjadi setelah mendapatkan pasangan). Dan, tiap pilihan mengandung risiko, luka dan, mungkin, penyesalan.

Jika memilih keluarga di kampung halaman dalam waktu yang tak tahu hingga kapan, bagaimana dengan pekerjaan? Bagaimana masa depan?

Jika memilih pekerjaan, otomatis harus meninggalkan kampung halaman, karena tak ada lowongan di sana--ini nyata. Apalagi sebagaimana kata orang-orang, kamu adalah lulusan sarjana, masa, iya, kerja di kota kecil?

Well, this book has it all: tentang masalah-masa-kini; yang mungkin dialami orang-orang di luar sana, yang kelewat tergoda akan gaji yang tinggi hingga melupakan prioritas, terobsesi pada pekerjaan, sampai-sampai menggunakan jam off mereka untuk lanjut--bukan karena cinta, tapi takut kehilangan atau penurunan jabatan, yang bingung harus pindah atau menetap. Buku ini mengajarkan saya bahwa tidak ada pilihan yang paling benar, tidak ada yang paling salah--tapi, diri kita sendiri selalu tahu mana pilihan yang tepat...

***

Secara keseluruhan, saya suka sekali dengan pesan dari buku ini. Saya senang tidak ada tokoh yang paling salah, tidak ada tokoh yang paling benar--sebagaimana manusia, masing-masing tokoh tersebut punya kesalahan juga, dan mereka belajar, saya pun belajar. Saya senang konflik di sepanjang cerita. Saya berharap merasakan feel dari SoE lebih mendalam, tapi kisah dalam buku ini sudah memuaskan. Saya tak butuh lebih. Terakhir, saya suka bagaimana penulis mengakhiri kisahnya, dan kalimat pertama pada paragraf terakhir.

Jika ini musik, ini adalah musik yang sederhana: hanya ditemani gitar akustik, tapi liriknya begitu dalam, dilantunkan dengan perasaan yang pas.

Dan, kadang-kadang, kita tidak butuh musik yang hingar-bingar, cukup lirik sederhana dengan pesan yang membuat kita merefleksikan hidup. Seperti yang dilakukan buku ini kepada saya.

***

Saya merekomendasikan buku ini untuk siapa pun yang membaca tulisan ini.
Memulai halaman pertama dari sebuah novel tak pernah mudah. Jangankan halaman pertama, kalimat pertama pun berujung pada ketik-hapus-ketik-hapus-dan-siklus-ini-takkan-pernah-berakhir. Meninggalkan pointer-mu dalam keadaan kedap-kedip membuatmu semakin bingung.

"Apa yang harus kutulis?"

Ketika menulis novel I Love You; I Just Can't Tell You, beruntungnya, atas kehendak Allah, saya menemukan kalimat pertama secara langsung. Tahu-tahu, kumpulan kata itu muncul begitu saja dalam kepala, seolah sang karakter membisikkan kepada saya,




Namun, tentu, sebelum kalimat pertama itu muncul, ada beberapa hal yang saya lakukan untuk "memancingnya". Selain membuat outline dan biodata tokoh agar semakin mengenali tokoh-tokohnya, saya juga mengambil setiap novel yang ada di rak buku, membaca kalimat-kalimat pertamanya, mempelajari bagaimana para penulis memulai kisah mereka. (Sesungguhnya, sampai hari ini, saya selalu menggunakan cara tersebut bila tak kunjung menemukan kalimat pertama di permulaan bab, and it works!).

Oh, lalu, ada satu hal yang perlu kau ingat... Saat ini, sudah bukan masanya lagi membuka novel dengan adegan semacam: terlambat bangun pagi, buru-buru ke sekolah, and all the things you can imagine. Juga, sudah bukan jamannya lagi mengawali sebuah kisah dengan deskripsi cahaya matahari yang bla bla bla, cicitan burung yang bla bla bla. Bagaimana untuk menghindari ini? Ya, hindarilah. Sesederhana itu. Dan, yang terpenting, kau harus banyak, banyak membaca agar tulisanmu tidak akan out of style. Perbanyak pula membaca buku-buku terbitan terbaru untuk merasakan "the current"--kekiniannya. Bukan berarti kau harus mengikutinya, ya, kau hanya perlu tahu, dan itu penting.

***

Oke, sekarang, mungkin kamu sudah menemukan kalimat pertama setelah banyak membaca kalimat pertama dari novel-novel di rak bukumu. Namun, melanjutkannya... kok tetap tidak mudah?

Sebenarnya, ketika kau sudah menemukan kalimat pertama, segalanya akan berjalan lebih lancar, lebih mulus. Beberapa penulis berpendapat, teruslah menulis, meskipun itu jelek, akan ada waktu untuk mengedit nanti. Jadi, apa yang ada di kepalamu saat ini, tuliskan saja apa adanya dulu. Meskipun ini kalimat pertama, meskipun ini halaman pertama, ini bukanlah draf final.

***

Masih kesulitan juga?

Well. Ini bagian yang paling menyenangkan. Kadang, ketika kita hendak menulis, semua kalimat, semua adegan, bercampur aduk di dalam kepala. Otak kita berpikir lebih cepat dari tangan kita yang sedang mengetik.

Ini... mungkin membantu.

Ketika hendak menulis bab pertama I Love You; I Just Can't Tell You, di dalam kepala saya, saya berusaha mengorganisir kembali pikiran saya, menyederhanakan kembali tentang apa saja yang akan terjadi. Saya buat alur di dalam kepala:

- Daisy pulang dengan buru-buru karena ingin ketemu "dia".
- Daisy, secara diam-diam, mengekori "dia" menuju kampus. Padahal Daisy cuma anak SMA.
- Daisy, secara berani, ikut masuk ke dalam kelas "dia", di kampus. Padahal dia jelas anak kuliahan, sudah semester akhir, dan Daisy telah mengambil sebuah risiko.
- Dan, risiko itu terjadi: ketika sang dosen meminta mereka untuk membentuk kelompok, "dia" memilih Daisy, dan "dia" tak tahu bahwa Daisy cuma murid selundupan, cuma murid SMA yang tak tahu apa-apa.
- Namun, itu... yang membuat mereka nantinya menjadi dekat.

Setelah itu, saya menyegarkan pikiran dengan mencari gambar-gambar yang berhubungan dengan alur di atas, juga yang berhubungan dengan tokohnya sekadar untuk menambah feel.

Ini yang saya temukan...


Sebenarnya, gambar ini hanya untuk mendapatkan feel "mungil"nya Daisy. Walaupun dia tak semungil ini, kok.

Menma - Ini bukan Daisy. Saya menemukan gambar ini (dan mengenal tokoh di atas ini) setelah selesai menuliskan I Love You; I Just Can't Tell You. Namun, ketika saya melihat tokoh ini, Menma, saya langsung berpikir, "Wah, ini Daisy banget!!!" Namun, saat kau membacanya nanti, kau pasti memiliki Daisy versimu sendiri.


Terlepas Daisy yang tidak tumbuh secara fisik di usianya yang ke-enambelas, Daisy tetap merupakan tokoh yang ceria. She's not a girl who cries all night long thinking, "WHY ME?"



Namun, bila kau menjadi Daisy, tak tumbuh karena masalah hormon, kau pasti, setidaknya sekali, merenung tentang masa depanmu. Apakah seterusnya kau akan seperti ini? Seperti anak kecil? Teman-temanmu tumbuh, tapi kau tidak. Seperti dunia terus berjalan, sementara bagimu dunia selalu dalam mode pause.



Lalu, itu membuatmu berpikir... dengan tubuh seperti ini, akankah ada yang menerimamu?

Karena, tepat saat itu, kau sedang jatuh cinta. Dan, kau tak ingin menyerah. Karena, bagi Daisy, laki-laki ini lebih dewasa dari teman-teman sekelasnya. Tentu, tak akan berpikiran dangkal, bukan? Maka dari itu, dia mencoba. Menggebu-gebu.
Daisy senang, khawatir, cemas, salah tingkah saat usahanya mulai menunjukkan jalan.

Saat "dia" menatap kedua matanya, di depan kelas, dan menanyakan tentang... (nggak mau spoiler, ah)
Dalam kepala, deretan gambar ini akan membentuk kalimat, kalimat, dan kalimat... dan membuat halaman pertamamu akhirnya terisi! :)
***

Hal lain yang perlu kau ketahui tentang halaman pertama ialah ia begitu penting. Di dapur redaksi, halaman pertama menentukan segalanya. Jika menarik, maka peluang untuk terus dibaca semakin besar. Jika tidak..., hmm, mungkin naskahmu hanya dibaca hingga halaman sekian saja. Namun, tak semua anggota redaksi menghakimi naskahmu dari halaman pertama. Tentunya, mereka yang lebih ahli akan mempelajari dan menilai naskahmu dari berbagai sisi.
Namun, halaman pertama tetaplah krusial. Beberapa pembaca akan menentukan, "Apakah aku harus beli buku ini atau tidak, ya?" dari halaman pertamamu.
Lantas, bagaimana membuat halaman pertama yang menarik?
Tarulah konflik di sana. Konflik tak berarti pertengkaran atau drama, ya. Konflik juga tak melulu sesuatu yang "besar". Konflik adalah sesuatu yang mendesakkan tokohmu, yang membuat pembaca berpikir, "Wah, apalagi nih yang terjadi di halaman perikutnya?"
Seperti yang dialami Daisy... dia masuk ke ruang kelas seorang mahasiswa, padahal dia hanya gadis SMA, dan terperangkap dalam kelompok tugas mahasiswa...
Apa yang terjadi pada dirinya... di halaman berikutnya?
Dan, aku tersadar kalau baru saja melakukan kesalahan fatal.
***
Terima kasih telah membaca episode kedua dari Behind the Scene I Love You; I Just Can't Tell You ini! (Klik --> ini <-- episode="" membaca="" pertama.="" untuk--="" untuk="">
Pada episode ketiga, saya akan berbagi tentang... kata orang-orang, kita harus menulis kisah yang berbeda, apakah itu benar? Dan, hal ini selalu membuat kita maju-mundur. Duh, kisahku klise nggak, ya? Pada episode berikutnya, saya juga akan mengisahkan tentang para tokoh-tokoh di novel I Love You; I Just Can't Tell You. Insya Allah, akan diposting pada tanggal 9 Agustus 2015. Dua hari lagi, jika segalanya lancar, insya Allah.
***
Sekarang, di kepalamu, kalimat pertama apa yang sedang muncul di sana?  :)
 
Ketika naskahmu diterbitkan, kisah perjuanganmu sebagai penulis belum berakhir. Masa-masa setelah terbitnya novelmu serupa season kedua dari drama perjuanganmu. Kadang-kadang, drama dari season kedua ini adalah kau mendapat kritikan-kritikan tajam dari pembaca. Kritikan, yang membuatmu kecewa dan khawatir, dan berpikir ulang, "Sebenarnya, aku bisa menulis nggak, sih?"
 
Hal ini juga membuat naskah baru yang sedang kautulis menjadi teronggok bersama folder-folder di laptopmu, karena kau takut melakukan kesalahan yang sama, seolah para pengkritik itu berdiri di belakangmu, membisikkan setiap kesalahan di setiap kalimat yang kaucipta.

I've been there.

Tetapi, sejak awal, saya selalu bilang kepada diri sendiri: kritikan sudah pasti akan datang. Namun, tujuh alasan di bawah ini "menguatkan" saya...

1. Semua penulis pernah mendapat kritikan tajam. Ya, semua!

Bahkan, J.K. Rowling, penulis Harry Potter, salah satu buku paling laris di seluruh dunia, mendapati kritikan-kritikan tajam dari pembaca. Tidak percaya? Buka laman Harry Potter di Goodreads, lalu saring ulasan-ulasan yang hanya memberi satu bintang untuk buku tersebut. Lihat, betapa kritikan mereka jauh lebih kejam (dan banyak) dibandingkan yang kau dapati sekarang.

2. Kamu bisa merampungkan sebuah novel--hal yang mustahil bagi banyak orang

Ada berapa manusia di dunia ini? Milyaran? Triliuran? Tarulah, ada milyaran manusia di dunia ini, hanya jutaan yang suka menulis, namun hanya ratusan ribu yang dapat merampungkannya. Dan, kau... adalah salah satunya. Memulai novel tak pernah mudah, apalagi menyelesaikannya hingga kata "The End". Kau berhasil melakukannya. Mereka yang mengkritik tajam belum tentu berhasil melakukan hal yang sama, bukan?

3. Lebih dari itu, naskahmu berhasil diterbitkan oleh sebuah penerbit mayor!

Dari ratusan ribu, anggaplah hanya puluhan ribu manusia yang karyanya berhasil tembus di dapur redaksi. Lagi-lagi, kau salah satunya. Mimpimu untuk melihat namamu di sebuah kaver buku, di toko buku, akhirnya tercapai. Isn't it cool? Tak semua mendapatkan kesempatan yang sama. Syukurilah hal-hal kecil.

But wait a minute. Jangan merasa terlalu bangga akan hal itu, ya. Karena...

4. Karena, mereka yang menuliskan kritik untukmu, akan membuatmu belajar

Seringkali, sebuah kritikan menjelma sebuah masukan yang bermanfaat. Saya masih ingat, dulu, saat mendapati beberapa kritikan yang ditujukan untuk novel pertama saya, Dilema. Beberapa pembaca menyebut tentang alur yang terlalu diulur-ulur menuju konflik, quote-quote yang diselipkan secara tidak alami, dan biasa saja secara tokoh dan cerita.

Dari masukan mereka, saya belajar untuk tidak lagi menulis alur yang terlalu lambat, lebih to the point pada konflik, tidak lagi "sengaja" menulis quote-quote agar terlihat indah (quote--itu, akan muncul sendirinya, dari tokohmu, tanpa kau ancang-ancang). Untuk komentar yang "biasa saja", saya membenahinya dengan terus, terus membaca.
 
Saya belajar banyak. Dan, ketika menulis novel Swiss, saya belajar lagi hal-hal baru dari beberapa ulasan. Ketika menulis I Love You; I Just Can't Tell You, saya pun masih belajar. Saat ini sedang menulis naskah keempat, saya tak berhenti belajar hal baru. Dan, itulah yang keren dari menulis: kau tidak akan berhenti belajar.

5. Namun, tak semua kritikan selalu benar

Yah, ada beberapa kritikan yang ditulis hanya untuk merendahkan karya seorang penulis, tanpa memberi solusi. Ada juga beberapa masukan yang tak bisa kau "terima". Maksudnya, tentu, kau harus menerima sebuah kritikan, tapi kau pun harus menyaringnya terlebih dahulu. Baca kritikan tersebut, lalu lihat ulang naskahmu... apakah kritikan itu sesuai? Kadang-kadang, kita tidak bisa mengaplikasikan seluruh masukan, karena, sebagai penulis, kau tahu mana yang masukan yang cocok untuk naskahmu.
 
(Tapi jangan sampai terperangkap dalam "selalu merasa benar").
 
Juga, tidak ada trik yang bisa mengatakan kritikan mana yang benar dan mana yang salah. Namun, acuan saya adalah, semakin banyak yang mengeluhkan tentang itu, maka itu yang perlu saya benahi.

6. Mau sebanyak apa pun yang mengkritik jelek, pasti ada yang suka, kan?

And, it heals everything. Bahkan Fifty Shades of Grey (no, I don't recommend you to read it) yang banyak dibenci karena, menurut mereka, itu layak tidak disukai, tetap saja ada sekelompok orang yang menyukainya.
 
Ini cuma masalah selera.

7. Karena kamu tahu alasan mengapa kamu menulis

Saat kau sudah menemukan alasan mengapa kau menulis, kritikan-kritikan itu tak akan lagi menjatuhkanmu, karena kau tahu alasan yang mendasari ini semua.
 
Namun, sekali lagi, jangan merasa diri ini yang paling benar.
 
Always listen to others' opinion. Ucap terima kasih (walau Goodreads tidak merekomendasikanmu melakukan ini--yah, minimal, ucaplah terima kasih yang tulus dari dalam hatimu), terus belajar, saring opini-opini yang masuk, barulah kau mengetahui mana yang akan diaplikasikan untuk naskah berikutnya.
 
Selamat menulis.
 
Sampai jumpa di postingan berikutnya.
 
Usiaku enam belas tahun, kelas sepuluh, dan belum dewasa...
 
Sejak dulu, saya selalu suka membaca kisah di balik penulisan sebuah novel; tentang apa yang dilakukan para penulis tersebut hingga tulisan mereka rampung, tentang naik-turun dalam menulis; tentang rasa tidak percaya diri di tengah-tengah menulis--setiap prosesnya saya penasaran, dan itu selalu menjadi bagian yang menarik. Jadi, saya berpikir, mengapa saya tidak membagikan behind the scene penulisan novel I Love You; I Just Can't Tell You. Mungkin, di luar sana, ada seseorang yang pernah bertanya seperti saya dulu, "Gimana ya behind the scene sebuah penulisan novel?"
 
So, here it is. Saya akan membagikannya secara berangsur. Akan ada sepuluh episode dalam behind the scene ini, menyesuaikan banyaknya bab di novel I Love You; I Just Can't Tell You.
 
Selamat datang di episode pertama.
 
***

Sejak penulisan Dilema dan Swiss, saya selalu menyiapkan biodata tokoh dan outline sebelum menulis novel

Biodata tokoh saya gunakan untuk semakin mengenal karakter dalam novel; agar saya bisa merasa mereka di setiap apa yang mereka alami; agar saya bisa berpikir layaknya mereka. Biodata tokoh tak seputar nama, usia, dan hobi. Pun tak sekadar ciri fisiknya. Melainkan juga karakteristik mereka yang ditulis secara detail. Ini, ditulis semata-mata hanya untuk menguatkan karakter mereka. Kadang-kadang, saya juga mengumpulkan foto-foto karakter anime untuk memudahkan saya membayangkan tokohnya.
 
Sementara itu, outline dibuat untuk menghindari kemacetan ide di tengah jalan. We all have been there: Sudah menulis hingga halaman sekian, tapi tiba-tiba merasa stuck, halaman kosong berhari-hari, ide seolah menumpul. Outline a.k.a kerangka karangan sangat membantu untuk mencegah ini. Saya selalu menyiapkan outline hingga ia benar-benar matang; dari bab satu hingga akhir--supaya saya tak perlu melakukan editing mayor saat cerita telah ditulis secara keseluruhan.
 
Begitu pula dalam I Love You; I Just Can't Tell You. Saya telah melakukan dua hal tersebut, namun saya berpikir...

Harus ada sesuatu baru yang perlu saya lakukan; yang belum saya tulis dan temukan di novel-novel sebelumnya

Setiap kali hendak memulai menulis novel baru, termasuk I Love You; I Just Can't Tell You ini, saya mengumpulkan buku-buku yang setipe dengan kisah ini. Mengeksplorasi bacaan sebanyak-banyaknya, berusaha mencari sesuatu yang baru. Novel lokal, novel terjemahan, bahkan mencoba membaca novel berbahasa Inggris (unexpectedly, itu mempengaruhi gaya menulis saya dalam bahasa Indonesia, in a good way.). Namun, tetap, saya belum menemukan sesuatu yang baru itu. Okelah, saya telah mendapat karakter Daisy yang unik; gadis tujuh belas tahun yang tak tumbuh sebagaimana remaja lain; belum mengalami pubertas. (Dia adalah gadis yang kau lihat di kaver I Love You; I Just Can't Tell You).
 
Novel Remaja Sedih tentang Cinta Pertama
Yes, that's Daisy!
 
Saya menemukan kisah gadis SMA yang jatuh cinta pada anak kuliahan, dan masuk ke dalam kehidupan mereka yang belum pernah saya temui dalam novel-novel yang saya baca. Saya telah memutuskan untuk menggunakan sudut pandang pertama karena selama ini saya hanya menggunakan sudut pandang ketiga. Saya pun telah menentukan sudut pandang pertama ini akan ditulis dari tiga tokoh sekaligus; Daisy, Alan, Ve.
 
Namun, ini hanyalah sesuatu baru secara teknis.
 
Saya mencoba eksplorasi lagi. Kali ini, saya mencoba membeli beberapa manga yang banyak digemari perempuan, mencoba mencari tahu, "Apa sih yang membuat orang-orang menyukainya?" Saya juga mencoba menonton beberapa drama Jepang dan anime. Meski tak seluruhnya menjadi favorit, meski manga yang saya baca hanya begitu-begitu saja--saya menemukan suatu hal yang tidak saya temukan dari seluruh novel yang pernah saya baca: ketulusan.
 
Entah kenapa, ketika membaca atau menonton sebuah karya dari Jepang, seklise apa pun kisahnya, selalu ada ketulusan di sana. Ketulusan yang menghangatkan hati. Yang tiba dengan tepat di hati penonton drama/anime atau pembaca mang. Dan, di situlah saya tahu apa yang saya cari dalam tulisan: saya butuh ketulusan.

Namun, ketulusan dalam menulis novel bukan sekadar perasaan suka menulis

Orang-orang menulis karena mereka suka menulis. Well, some of them, begitu. Ketika menulis naskah Dilema dan Swiss, saya pun menyukainya, saya merasakan tokoh-tokohnya. Namun, ketika saya menemukan "ketulusan" ini, saya mendapati bahwa itu bukan sekadar ketulusan karena kau menyukai menulis. Namun, ketulusan yang dimaksud adalah... mengapa kau mengangkat kisah ini? Untuk apa? Untuk siapa?
 
Apa alasanmu sesungguhnya?
 
Apakah sekadar rasa suka dengan kisahnya? Well, ini normal. Kau harus menyukai ceritamu, dan ini selalu menjadi persyaratan saya dalam memulai sebuah naskah.
 
Namun, apakah hanya karena itu?
 
Apakah sekadar ingin menunjukkan bahwa kau bisa menulis sesuatu yang berbeda? Ini juga normal. Semua penulis perlu berkembang. Namun, apakah hanya sebatas itu? Sebatas kata-kata yang lebih indah? Sebatas kisah yang lebih menjanjikan?
 
FYI, sejak itu, saya juga sedang mengalami perubahan pola pikir--yang membuat saya berpikir lebih dalam, lebih mendetail. Dan, pola pikir itu membawa saya pada sebuah keputusan: saya ingin menulis sesuatu yang lebih bermanfaat. Saya selalu tertarik dengan dunia remaja. Maka, saya ingin menulis sesuatu yang berarti untuk mereka. I care for them. Dan, I Love You; I Just Can't Tell You adalah awal dari segalanya.

Saya tak mau sekadar menulis novel romance yang sebatas laki-laki dan perempuan, bertemu, jatuh cinta, konflik, baikan, jadian, happy ending

Saya ingin sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang ketika pembaca menutup bukunya mereka akan tersenyum, hangat hatinya, dan bergumam, "Oh, iya, ya.". Saya ingin sesuatu yang berkesan di hati. Ketika niat ini telah kokoh, atas kehendak Allah, sebuah adegan muncul dalam kepala saya. Adegan itu telah tertulis di halaman 234-236. Di sana, saya jadi sadar bahwa kisah cinta tak melulu seperti bertemu-konflik-jadian-happilyeverafter, kok.
 
***
 
Saya teringat sebuah drama Jepang, tentang seorang gadis yang menjadi pilot. Saat dia melihat pesawat terbang, dia menatap langit dan berkata kepada temannya, "Aku ingin menjadi pilot!" Dia mengutarakannya sungguh-sungguh, dengan tatapan yang teguh, dengan usaha yang nyata.
 
Di saat itu, saya berpikir, "Kita harus berani memperjuangkan mimpi kita. Lihat, dia adalah seorang gadis muda, tapi berani memutuskan menjadi pilot." Seperti menulis. Jika kau ingin menjadi penulis, menulislah, berjuanglah, jangan takut.
 
Namun, tiba-tiba, teman dari gadis itu berkata, "Kau ingin jadi pilot? Jangan berkata semudah itu. Saat kau menjadi pilot, itu bukan sekadar kau duduk di kokpit dan mengendalikan pesawat. Menjadi pilot tidak sedangkal itu. Saat menjadi pilot, kau menanggung nyawa ratusan orang yang ada di belakangmu. Apakah kau siap? Apakah kau sungguh-sungguh?"
 
And that words strike me. Sebagaimana menulis, ini bukan sekadar saya duduk di depan komputer, menuliskan kisah remaja favorit saya. Namun, di depan saya, ada pembaca-pembaca remaja, yang sebagaimana penumpang pesawat, yang harus saya "lindungi". Betapa kita merutuki acara televisi yang merusak dengan dalih melindungi remaja. Itu, berlaku pula dalam menulis novel. Setidaknya, untuk saya.
 
Namun, perlu dipahami bahwa tiap orang memiliki definisi ketulusan yang berbeda. Jangan merasa milikmu adalah yang terbaik. Ketulusan adalah sesuatu yang butuh dibenahi seumur hidupmu. Mudah-mudahan, kau menemukan ketulusan yang tepat.
 
***

Itulah bagaimana I Love You; I Just Can't Tell You lahir.

Inilah mengapa saya ingin membawamu pada kisah...
 
Daisy; gadis tujuh belas tahun yang tak pernah mengalami pubertas, tapi malah mengalami jatuh cinta untuk kali pertama. Alan; mahasiswa semester akhir yang tak banyak bicara, yang mungkin membuatmu ikut jatuh cinta. Dan, Ve; mahasiswi yang tertutup, yang membuatmu bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi padanya?"
 
Mereka memiliki kisah berbeda, tapi bersinggungan. (Dan, betapa sulit sekaligus menyenangkan mengatur kisah tiga tokoh dengan latar mereka agar saling menyatu dan mengisi. Butuh membongkar outline dan konsep beberapa kali.)
 
Namun, ini belum berakhir. Hanya karena saya sudah menemukan ketulusan dan konsep itu, bukan berarti menulis novel akan menjadi perjalanan yang mudah.

Bayangkan, saya sudah mendapatkan konsep yang pasti, outline yang utuh, karakter yang telah saya kenali luar dalam. Namun, memulai kata pertama, halaman pertama, itu tak pernah mudah.
 
Kau tahu rasanya.
 
Maka, salah satu solusi yang saya lakukan dalam menulis halaman pertama adalah...
 
Bersambung...
 
***
 
Tentang bagaimana saya menulis halaman-halaman awal I Love You; I Just Can't Tell You dan cara menulis halaman pertama (yang memikat) akan saya kisahkan pada behind the scene Episode 2. Will post it here on August 7th, 2015. Stay tuned, ya!
 
Di episode-episode berikutnya, saya juga akan menceritakan kisah saat saya mengalami stuck dan krisis percaya diri, saat buku ini telah berada di dapur redaksi; penentuan judul, proses pembuatan kaver, dan lain-lain yang berhubungan dengan pra-cetak di penerbit. 
 
***
 
Anyway, untuk kamu yang sedang menulis novel, mengapa kamu sungguh-sungguh ingin menulis novel? :)
Berbicara tentang rumah tangga, saya selalu membayangkan roller coaster.
 
Kala roller coaster mulai berjalan, keraguan muncul hingga hatimu bergumam, "Apakah ini akan baik-baik saja?"
 
Saat roller coaster menukik menuju puncak, ketakutan datang hingga hatimu bertanya, "Apakah ini yang disebut menyesal?"
 
Kemudian roller coaster melandai dari puncak tertinggi dengan kecepatan tertinggi, membuatmu berteriak kencang, sekencang-kencangnya, menyesal, merutuki mengapa kau memilih semua ini, bertanya-tanya kembali tentang keputusan yang telah kau buat.
 
Namun, ketika roller coaster tersebut telah kembali pada jalur normalnya, kau tertawa dan berkata, "It's worth the fight."
 
Kau merasa tenang beberapa saat.
 
Lalu, wahana itu berputar lagi, mengulang rasa-rasa itu: meragu, takut, bahagia, lepas,
 
dan... tenang.
 
Saya percaya bahwa kehidupan rumah tangga tak akan selalu berjalan mulus--dan, kita semua setuju tentang itu. Akan ada highest point saat kau sungguh-sungguh bahagia dengan pilihanmu dan lowest point saat kau merasa ini berada di tepi jurang. Saya tidak takut, it's price you have to pay. Lagi pula, semua rumah tangga pasti mengalaminya.
 
Namun, saya penasaran tentang bagaimana caranya bertahan. Saya juga penasaran tentang detail-detail kecil, seperti, "Apa yang terjadi setelah proses ijab qabul antar kamu dan pasanganmu?", "Apa yang terjadi dan harus dilakukan saat pertengkaran pertama?", "Apa yang perlu kita lakukan agar pasangan kita selalu senang bersama kita?", "Bagaimana perasaan memiliki anak kedua? Bagaimana kita menjaga perasaan sang kakak?".
 
Banyak sekali.
 
Hingga suatu ketika, saya menemukan gambar ini di linimasa Facebook.
 
 
 
Sampul dan judulnya menarik hati saya. Sebuah gambar rumah sederhana, dengan asap. Itu, menjelaskan segala hal tentang rumah tangga.
 
Terlebih lagi, penulisnya adalah Fahd Pahdepie. Saya tak akan menjelaskan tentang beliau di sini karena kau dapat menemukannya di Wikipedia.
 
Hal yang terbaik tentang sampul buku itu: saya dapat membukanya dan membaca isinya.
 
Saya selalu mengagumi kisah-kisah sederhana, yang menyelipkan sebuah pesan baik, yang membuat saya berpikir dalam, merenung, lalu tersenyum, dan bergumam, "Ah, iya!"
 
Saya menemukan semua itu di buku ini, termasuk detail-detail kecil yang ingin saya sampaikan di atas tadi.
 
Saya akan memberi tahu kepada kalian, tujuh alasan mengapa saya menyukai buku ini...
 
dan, tujuh alasan yang bisa jadi membuatmu menyukai buku ini juga. 
 

1. Rumah Tangga ditulis dengan gaya bahasa sederhana, namun menyihir.

Saya adalah tipikal pembaca yang lumayan terbuka dengan gaya menulis apa saja. Malah, itu sebuah kebutuhan. Ketika telah banyak membaca buku dengan kisah dan gaya bahasa ringan, saya akan memilih buku yang lebih berat baik dari kisah dan gaya penulisan. (Tentu, "ringan" dan "berat" versi saya).
 
Rumah Tangga is something in between. Pemilihan kata dan penyusunan kalimat-kalimatnya sangat membumi. Namun, di saat yang sama, kata-kata sederhananya itu membentuk sesuatu yang ajaib.
 
Ya, ajaib.
 
Saya bukan pembaca paling baik dalam berimajinasi. Namun, ada satu bagian dari buku ini yang membuat saya dapat menyaksikan langsung adegannya. Yakni, saat penulis bercerita masa kecilnya. Sang penulis berkata pada ayahnya bahwa dia ingin layang-layang.
 
Ayah menyetujui keinginannya. Namun, ayahnya bertanya kembali, "Kamu tahu bagaimana cara menerbangkan layang-layang?"
 
Sang penulis menggeleng.
 
Maka, ayahnya berkata bahwa beliau akan mengajarkan mencari angin, mengajaknya ke sawah untuk menerbangkan layang-layang bersama-sama, memegang benang bersama-sama, lalu, bersama-sama, melihat layang-layang itu terbang ke angkasa.
 
Setelah mereka lelah bermain layang-layang, ayahnya berkata,
 
"Fahd, mudah-mudahan ini sederhana, dan kamu akan selalu mengingatnya.
 
Kelak, jangan bercita-cita membeli rumah untuk istrimu, bercita-citalah untuk tinggal bersama dan hidup bahagia, selama-lamanya,
 
Jangan bercita-cita memiliki kendaraan mewah untuk anak-anakmu, berdoalah agar kalian bisa pergi bersama-sama, bertamasya, atau berbelanja dengan bahagia."
 
Kata-katanya sederhana sekali, tapi mendarat dengan tepat di tujuan: hati.
 
Saya sudah tersihir sejak sang penulis menceritakan tentang bermain layang-layang itu.
 
Kelak, saat kau membacanya, mungkin kau akan merasakan sensasi yang sama. Atau, sensasi yang berbeda, dengan cara yang lebih baik.
 
Sekadar informasi, sebenarnya kutipan itu masih ada lanjutannya. Tak akan seru bila dibeberkan semuanya.
 

2. Rumah Tangga diangkat dari kisah nyata.

Sejujurnya, saya tidak begitu tertarik membaca kisah yang didasarkan dari kisah nyata. Tetapi, kadang, kita butuh melihat sesuatu yang nyata untuk mendapat jawaban sesungguhnya, kan?
 
Kita bisa menulis fiksi tentang rumah tangga dengan alur dan gaya menulis yang luar biasa. Tak lupa juga dengan akhir bahagia. Tetapi, kisah nyata tidak selalu begitu,
 
dan, itulah yang ditawarkan buku ini.
 
Realistis.
 
Kita dapat melihat secara langsung "momen sendiri" sang penulis beberapa menit sebelum berlangsungnya pernikahan. Ikut merasakan dag-dig-dug sebelum mengucap ijab qabul (untuk para laki-laki), ikut menjawab pertanyaan para wanita yang bertanya, "Apa yang laki-laki pikirkan beberapa menit sebelum mereka memutuskan hidup selamanya bersama kami?"
 
Saya punya satu pertanyaan, "Bagaimana, ya, hati seseorang yang telah berumah tangga? Bagaimana rasanya menjadi seorang suami? Bagaimana rasanya menjadi seorang ayah?" Saya berpikir ini pasti sulit, ada tanggung jawab besar di baliknya. Baik di dunia maupun akhirat.
 
Namun, di buku ini, saya belajar...
 
Kadang-kadang, kita perlu menikmati alurnya saja, seperti saat berada di roller coaster,
 
but always take it seriously.
 
Saya pun belajar tentang beberapa tanggung jawab; yang belum saya temukan sebelumnya dari pembelajaran saya tentang rumah tangga.
 

3. Rumah Tangga mengangkat fenomena masa kini, yeng membuat kita jadi bertanya-tanya, "Mana, ya, yang benar?"

Di linimasa Facebook-mu, kau pasti pernah menemukan artikel Ibu-Tinggal-di-Rumah VS Ibu-Mengejar-Karir.
 
Dalam kepercayaan saya, rida suami terhadap istrinya adalah segalanya. Hal-hal yang dilakukan istri harus berdasarkan izin suami, karena suami juga bertanggung jawab terhadap istrinya. Correct me if I'm wrong. Maka dari itu, jika kau adalah laki-laki dan ditanya, "Istrimu harus bekerja atau tinggal di rumah?", kau tidak dapat serta-merta berkata, "Itu pilihan istri saya. Terserah dia." Kau adalah penganggung jawabnya, kau harus punya alasan kuat pula pada pilihan istrimu.
 
Kau juga tak dapat menentukan pilihan istrimu begitu saja. Harus selalu ada alasan kuat. Dan, komunikasi yang dilakukan baik-baik dengan istri. Hingga menghasilkan kesepakatan bersama, supaya tak ada yang tersakiti. Correct me if I'm wrong.
 
Dan, saat membaca bab tentang Ibu-Tinggal-di-Rumah VS Ibu-Mengejar-Karir yang tertulis dalam buku ini, saya senang sekali ada yang menyuarakan pendapat ini. Buku ini menjawab keresahan yang terjadi antar dua golongan itu. Sang penulis juga memberikan contoh nyata yang berkaitan perihal ini.
 
Rasa-rasanya, saya ingin menunjukkan apa yang ditulis dalam buku ini kepada mereka yang masih berdebat soal ini.
 
Dan, saya yakin... sebagian laki-laki yang membaca bagian ini pasti akan termenung lama, dan, pelan-pelan, mengangguk setuju.
 
Sementara itu, sebagian perempuan yang membaca bagian ini pasti akan hangat hatinya.
 
*
 
Kebetulan, saya punya kawan yang bertanya, "Apakah perempuan harus benar-benar mengikuti pilihan suami?"
 
Saat itu, saya bilang, "Kalau itu pilihan yang benar, maka iya."
 
"Tetapi, aku rasa, komunikasi selalu dibutuhkan, nggak bisa satu arah," tambah saya, kurang-lebih begitu.
 
Saya jadi ingin menunjukkan bab ini kepadanya.
 

4. Rumah Tangga terasa seperti tulisan dari seorang senior yang telah menikah untuk para juniornya, juga kawan-kawan seangkatannya, untuk belajar bersama.

Dari judulnya, saya pikir buku ini akan lebih cocok bagi mereka yang telah menikah. Namun, saya yang belum menikah mendapat banyak masukan dari sang penulis. Tanpa kesan menggurui. Sedikit pun.
 
Apa-apa yang telah saya tulis di atas sudah jadi "cuplikan" dari pelajaran hidup yang didapatkan di buku ini.
 
Sebenarnya, masih banyak lagi.
 
 
 

5. Rumah Tangga memiliki, minimal, satu bagian yang akan menyentuhmu secara personal

Salah satu sebuah buku disukai adalah karena ia memiliki personal touch. Untuk kau yang memiliki banyak pertanyaan tentang kehidupan rumah tangga, maka personal touch dari sang penulis akan menyentuhmu, di beberapa bagian.
 
Ada satu bab dari buku ini yang benar-benar menyentuh hati saya.
 
Bab "Teladan dari Ayah".

Bab itu bercerita tentang mimpi ibu sang penulis yang ingin berhaji bersama suami. Namun, keadaan keuangan keluarga membuat mimpi ini menjadi ketinggian.
 
Beliau harus realistis. Menunda mimpi. Dalam penantian itu, ada satu momen ketika beliau harus berusaha ikhlas terhadap sesuatu yang amat sangat menyakitkan. Saya pun bisa merasakannya.
 
Sakit sekali, dan sedih...
 
Beliau sampai bilang, "Jika Ayah bisa memberangkatkan Ibu ke Mekah, Ayah boleh menikah lagi..."
 
Saking mustahilnya mimpi itu.
 
Saya juga punya satu mimpi yang tampaknya ketinggian. (Tetapi, saya percaya tak akan ada yang ketinggian bagi Allah; segalanya mungkin terjadi). Sama-sama berhubungan dengan Saudi Arabia. Saya tidak ragu dengan mimpi ini. Tapi, siapalah saya... hanya manusia yang bahkan memastikan apa yang terjadi satu detik kemudian secara akurat, saya tak mampu. Saya pun berusaha ikhlas jika mimpi ini tidak tercapai. (Won't give up, though). Dan, kadang, saya sedikit sedih membayangkannya. Tapi, saya ikhlas.
 
Lalu, akhir dari kisah ibu ini membuat saya tersenyum. Dan, semakin semangat terhadap mimpi itu. Dan, semakin percaya. (Sama-sama berhubungan dengan Saudi Arabia, soalnya).
 
Bahwa, ada beberapa mimpi yang perlu dirawat. :)
 
Lalu, apa hubungannya dengan rumah tangga?
 
Kau akan menemukannya di paragraf terakhir bab ini. Something that will make you smile.
 

6. Kisahnya yang sederhana--mungkin kau pernah/akan mengalaminya

Kisah cinta di novel ini bukan kisah rumah tangga yang dramatis, yang membuatmu hatimu jumpalitan kala membacanya. Segalanya serba sederhana, dan itu membuatnya terasa dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari. Seakan kau pernah/akan mengalaminya.
 
Mulai dari keragu-raguan orangtua saat anaknya memutuskan menikah, kesangsian orangtua terhadap pilihan anaknya (serta ketidaksetujuan mereka), nasihat-nasihat ayah, pertanyaan dari seorang istri tentang poligami, momen-momen sederhana bersama keluarga baru.
 
Omong-omong, ada satu bagian yang saya suka sekali dari buku ini.
 
begini, jadi, melalui sebuah bab tentang kilas balik keluarga sang istri, penulis seolah bertanya, "Mengapa orangtua yang tidak sempurna itu ada?"
 
Jawabannya pun sederhana: karena kita pun bukan anak-anak yang sempurna.
 
Kesederhanaan ini membuatnya spesial.
 
 
 

7. Rumah Tangga adalah sebuah karya yang sempurna karena ia punya semua hal: kelebihan dan kekurangan.

Berdasarkan KBBI, sempurna berarti utuh dan lengkap. Sebuah buku tanpa kekurangan, berarti tidak sempurna, kan? Buku ini pun begitu. Ia sempurna bersama kekurangan dan kelebihannya. Jika ditanya apa kekurangannya--well, ini hanya masalah personal saya saja. Saya adalah tipikal orang yang selalu membutuhkan keakuratan sebuah ilmu. Ketika membaca sedikit kisah-kisah sejarah Nabi, saya butuh keautentikannya/sumber yang dapat dijadikan pegangan. Agar saya dapat percaya. Pasalnya, ilmu saya masih sangat minim, dan saya ingin selalu mendapatkan sumber yang benar. Ini hal yang penting buat saya. (Ini bukan kekurangan jika cuplikan kisah Nabi di sana ternyata terbukti benar.)
 
Terlepas dari itu, buku ini sudah memasuki level "saya menyukainya!", dan ketika saya menyukai sebuah buku, saya akan fokus pada kelebihannya. Dan, kelebihan buku ini? Tujuh alasan ini sesungguhnya tak cukup,
 
jika kau sudah membaca buku ini, coba tambahkan satu alasan mengapa kau menyukai buku ini di kolom komentar.
 
Dan, saya juga ingin tahu: apa yang kau pikirkan tentang rumah tangga?
 
 
 
*
 
Sampai jumpa di post berikutnya!
 
--alvi syahrin