Sebetulnya Saya Takut Naik Pesawat

by 4:59 PM 4 komentar

Dan, Alhamdulillah, saya jarang sekali melakukan perjalanan yang mengharuskan naik pesawat. Nyaris tidak pernah malah.
Saya selalu membayangkan berada di atas udara dalam waktu yang lama itu menyeramkan. Belum lagi, saat saya tumbuh dewasa, saya banyak sekali mendengar berita kecelakaan pesawat. Naudzubillah, mudah-mudahan dijauhi dari itu semua.
Jadilah, saya takut naik pesawat, dan memilih untuk tidak akan naik pesawat.
Kecuali benar-benar kepepet.
Sampai suatu ketika saya harus naik pesawat.
Dan, nggak tanggung-tanggung. Perjalanan yang harus saya tempuh di dalam pesawat adalah sembilan jam.
Membayangkan berada di atas udara sembilan jam bikin saya cemas; perut mendadak mulas, hati nggak tenang. Apalagi saat itu, adalah masa-masa ketika Malaysia Airlines MH370 baru dinyatakan hilang.
Tambah takutlah saya.
Alhasil, berhari-hari sebelum berangkat, saya selalu memperbanyak doa agar diberi keselamatan selama perjalanan. Dihilangkan rasa khawatir dan cemas yang mengganggu ini.
Dan, tibalah hari H.
*saya ikut cemas nulis ini, btw*
Sekitar pukul setengah dua dini hari saya dan keluarga sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Pesawat lepas landas pukul setengah lima pagi. Dan, karena ini penerbangan internasional, jadi harus tiba beberapa jam sebelum keberangkatan.
Sebelum masuk ruang tunggu, kami makan terlebih dahulu--saking cemasnya, saya nggak bisa makan. Lalu, nunggu rombongan lain. Lalu, cari ruang tunggu untuk penerbangan kami. Lalu, sampailah kami di ruang tunggu, dan saya harus berpisah sama keluarga karena beda kursi.
Di sinilah klimaks kekhawatiran dan kecemasan saya. Hati bener-bener nggak tenang lihat pesawat yang gede banget dari jendela. Mulut terus merapal doa, berharap diberi keselamatan, dijauhi dari cuaca-cuaca buruk. Saking khawatirnya, saya langsung ganti airplane mode di ponsel saya, sekaligus dimatikan, biar lebih aman gitu, pikir saya.
Beberapa menit kemudian, kami diperbolehkan masuk ke dalam pesawat.
Dan, saya makin deg-degan sebagaimana saya rasakan sekarang.
Di dalam pesawat, tempat duduknya dibagi tiga kolom. Dua kolom dekat jendela--kanan dan kiri--sisanya di tengah.
Saya berjalan perlahan, mencocokkan nomor tiket dan kursi, sambil berharap saya nggak duduk di dekat jendela.
Waktu saya menemukan nomor kursi saya, saya pastikan ke pramugari--dengan sok pake bahasa Inggris untuk kali pertama, dan aneh banget!--dan ternyata, benar, tempat duduk saya di situ, di kolom kiri, dekat jendela, tapi nggak pas di samping jendelanya, melainkan di tengah.
Alhamdulillah. Yang penting nggak tepat di samping jendela.
 Waktu selimut dibagikan oleh pramugara, saya langsung bungkus seluruh tubuh sama selimut dan berharap tertidur selama delapan jam.
Dan, saya sama sekali nggak bisa tidur.
Saya panik ketika pesawat kok nggak segera lepas landas.
Tambah panik ketika diumumkan bahwa pesawat akan segera lepas landas.
Tambah, tambah panik ketika pesawat udah persiapan lepas landas. Jalannya kencang banget, banget, kayak rollercoaster. Dan suaranya itu mengganggu, bikin saya makin takut. Sesekali saya ngintip dari balik selimut, ini udah terbang belum? Soalnya dari tadi kayak jalan terus. Sayangnya, saya nggak bisa lihat udah terbang belum soalnya gelap, dan saya nggak berani lihat jendela secara full.
Lalu, beberapa saat kemudian, lampu di dalam pesawat mati.
Saya lebih panik lagi..., ini kenapa?
Dan, ternyata, memang seharusnya begitu. :v
Lalu, nggak lama kemudian, pramugara dan pramugari kasih free drink buat kita. Karena saya nggak pernah berkomunikasi bahasa Inggris sama orang luar, jadi sebelum minumannya dibagikan ke saya, saya udah latihan di dalam hati, beberapa kali melantunkan, "Mineral water." Oh iya, karena saya juga suka aksen British, saya pengen sok-sok nyoba pakai aksen British dengan T yang ditebalkan dan R yang nggak jelas--hanya itu yang saya tahu, dan saya nggak akan lagi pake aksen ini ke orang luar.

Ketika udah pede-pedenya nyebut, "Mineral wotta..." si pramugaranya malah bilang, "Sorry?"
Cepat-cepat saya edit, "Mineral water," dengan aksen Indonesia, yang R-nya kental banget. Pura-pura nggak peduli, padahal sebenarnya malu banget.
***
Saya ini tipikal orang yang nggak bisa tahan buang air kecil. Masih beberapa jam setelah lepas landas, saya sudah ingin buang air kecil. Saya berusaha tahan, tapi saya yakin banget nggak mungkin saya bisa tahan selama sembilan jam. Akhirnya dengan memberanikan diri, saya berdiri, berjalan menuju toilet.
Sebelumnya, saya sudah pernah diperingatkan sepupu saya kalau flush di pesawat itu bunyinya ngagetin.
Dan, iya, emang agak ngagetin karena suaranya tiba-tiba dan nyaring.
Alhamdulillah, satu hal yang saya takuti sudah berhasil saya lewati.
Tetapi perjalanan belum berakhir.
Sisa waktu perjalanan--yang kalau nggak salah sisa enam jam itu--saya habiskan dengan melihat monitor di depan. Navigasi pesawat.  Sekarang sudah melewati dataran Sumatera. Kami beberapa kaki di atas laut, tepat laut, atau samudera. Samudera Hindia. Dan, ini satu hal yang saya takutkan dari naik pesawat: berada di atas laut.
Saya nggak mau berimajinasi terlalu jauh, karena kalian pasti bisa menebak ke mana pikiran saya.
Di dalam pesawat, saya selalu kepikiran MH370 yang hilang di Samudera Hindia itu.
Tapi, Allah memang Maha Kuasa, segala kecemasan dan kekhawatiran yang tadinya saya rasakan, malah menguap begitu saja. Saya sudah bisa merasa biasa aja. Saya bisa menikmati sensasi berada di atas udara. Sesekali saya ngobrol sama Bapak-dari-Bangka-Belitung itu. Tetapi lebih banyak saya memperhatikan navigasi pesawat, di mana pesawat sedang berada.
Nah..., ketika pesawat berada di bagian selatan dataran India dan Sri Langka, ada pengumuman bahwa ada cuaca buruk.
Saya mulai deg-degan lagi. Saya perbanyak berdoa, dan selalu percaya bahwa Allah tidak akan mengecewakan hamba-hamba-Nya. Allah pasti mengabulkan doa hamba-hamba-Nya, saya selalu percaya itu.
Mula-mula, pesawat mengalami goncangan pelan. Seperti mobil yang berjalan di atas kerikil.
Lalu, secara mendadak, pesawat terasa seperti melandai di udara, sejenak kami terasa seperti melayang, dan goncangan di dalam jadi sedikit lebih keras. Orang-orang berteriak, "Allahu Akbar."
Saya terus berdoa, berharap goncangannya nggak lebih parah.
Dan, Alhamdulillah..., nggak lama setelah itu, pesawat mulai stabil lagi.
Kata Bapak-dari-Bangka-Belitung, itu namanya Turbulensi. Untuk menenangkan rasa takut, saya tanya ke Bapak itu, "Sering ya Pak kayak gini?"
Dan, ketika beliau bilang "sering", saya jadi sedikit lebih lega. Bahkan beliau cerita tentang pesawat yang ditumpanginya mengalami goncangan yang lebih hebat lagi..., saya jadi sedikit lebih lega.
Insya Allah, ini nggak apa-apa. Insya Allah, saya tiba dengan selamat.
Sejak 'turbulensi' itu, saya berdoa kepada Allah supaya nggak ada lagi cuaca buruk.
***
Setelah melewati Sri Lanka, perjalanan dilanjutkan di atas laut lagi. Saya menghabiskan waktu dengan melihat navigasi pesawat dan melihat berapa jam lagi akan sampai. Yay, empat jam lagi!
Selama empat jam di atas laut, dan saya sudah merasa jauh lebih baik. Sama sekali nggak cemas lagi. Oh, dan Alhamdulillah, saya juga nggak merasakan mual maupun sakit telinga.
Selanjutnya, perjalanan terasa menyenangkan. Ketika sudah tiba di atas dataran Arab--nggak di laut lagi, saya sudah mulai berani melihat ke jendela. Dan, Masya Allah, ciptaan Allah memang indah banget. Gumpalan-gumapalan awan, langit biru bersih, cahaya matahari yang memantulkan warna emas pada awan-awan. Serius keren banget.
Lalu, beberapa jam sebelum mendarat, kami udah berada di bawah awan, sudah bisa lihat dataran. Dan, berbeda dengan dataran Indonesia, yang dominan hijau... di dataran ini saya sama sekali nggak melihat warna hijau, melainkan krem/cokelat padang pasir.
Ini bukan yang terlihat dari pesawat, cuma comot dari Google.
Alat navigasi menunjukkan bahwa kami sudah di Uni Emirates Arab. Saya kira, saya bisa lihat kota Dubai yang wow dari langit, tetapi ternyata yang saya lihat di sepanjang perjalanan adalah padang pasir yang bersih, dan luas, dan, entah bagaimana, terlihat antik.
Oh, ya, ketika sudah di atas dataran Arab ini, Alhamdulillah, benar-benar nggak ada cuaca buruk lagi. Perjalanan mulus banget.
Sampai akhirnya diumumkan bahwa beberapa menit lagi kami akan mendarat.
Kami sempat melewati sebuah gunung yang sewarna dengan padang pasir, dan itu agak bikin saya takut.
Selain takut laut, saya juga takut gunung. -,-"
Alhamdulillah, selama melewati gunung itu, semuanya baik-baik saja.
Dan, beberapa kemudian, kami mendarat dengan selamat.
Alhamdulillah. Allah mengabulkan doa saya. Dan, benar: Allah tidak pernah mengecewakan hamba-hamba-Nya.
Perlahan, saya melangkah di lapangan udara, merasakan terik matahari yang berbeda sensasinya dengan Indonesia, melihat keadaan sekitar yang dipenuhi warna padang pasir.
Seiring saya melangkahkan kaki, saya tidak menyangka bahwa saya akan sangat mencintai kota ini.
Bahkan ketika saya sudah pulang ke Indonesia, saya masih sangat merasakan kota ini.
Saya tidak pernah serindu ini terhadap sesuatu.
Sampai-sampai saya berusaha keras untuk tidak melihat foto-foto dari kota ini karena betapa saya ingin kembali setiap melihatnya.
Sekarang, saya semakin rindu kota ini, dan beraharap bisa kembali.
Madinah.
***
Dan, jika saya harus kembali ke kota ini, saya mungkin akan tetap merasakan cemasnya naik pesawat. Tetapi, saya percaya kepada Allah. Saya percaya bahwa Allah senantiasa mengabulkan doa hamba-Nya, saya percaya bahwa Allah tidak pernah mengecewakan hamba-Nya, dan apa-apa yang terjadi kepada hamba-Nya sesungguhnya adalah yang terbaik.
***

Alvi Syahrin

Developer

A dream-oriented person since 1992. Telah menerbitkan dua novel: Dilema; Tiga Cerita untuk Satu Rasa dan Swiss; Little Snow in Zurich. Tak lama lagi, novel ketiganya, yang berjudul "I Love You; I Just Can't Tell You" akan terbit. Saat ini, selain merampungkan novel keempat, dia juga sedang mempersiapkan proyek-proyek untuk masa depan. Dan, satu hal yang selalu dia genggam erat dalam hidup ini: Akan ada sesuatu yang lebih baik dari sebuah kegagalan. Allah selalu tahu mana yang terbaik. Lagi pula, hidup tak melulu di dunia. Kau bisa menyapanya lewat Twitter, Instagram, dan ask.fm: AlviSyhrn.

4 comments:

  1. Pertamax!!! xD *sok ngaskus*

    Saya juga takut, Al. Takut ketinggian. Ngebayangin berada ratusan meter dari atas tanah itu aja rasanya udah semriwing. Hahaha...
    Tapi alhamdulillah yah, bisa tiba dengan selamat. Saya juga pengen ke sana, someday insya Allah. Doain ya, semoga dimudahkan Allah, biar bisa menginjakkan kaki ke tanah suci-Nya. :')

    ReplyDelete
  2. Aamiin.

    Mudah-mudahan saya juga bisa balik. Mungkin kita bisa pergi bareng nanti. Aamiin.

    ReplyDelete
  3. Aduh Vi, baca blog post mu akupun jadi kangen ke Madinah. Mudah-mudahan kita diberi kesempatan untuk menyambangi kota itu lagi. Aamin ya Rabb :D

    ReplyDelete
  4. Wah, aku udah lama banget nggak naik pesawat. Terakhir kelas 2 SD. Dan baca ini, kok malah menimbulkan efek phobia yah? >_<

    ReplyDelete