EP 1: Ini Yang Mereka Tidak Pernah Bilang tentang Cara Menulis Novel

by 7:21 AM 5 komentar
 
Usiaku enam belas tahun, kelas sepuluh, dan belum dewasa...
 
Sejak dulu, saya selalu suka membaca kisah di balik penulisan sebuah novel; tentang apa yang dilakukan para penulis tersebut hingga tulisan mereka rampung, tentang naik-turun dalam menulis; tentang rasa tidak percaya diri di tengah-tengah menulis--setiap prosesnya saya penasaran, dan itu selalu menjadi bagian yang menarik. Jadi, saya berpikir, mengapa saya tidak membagikan behind the scene penulisan novel I Love You; I Just Can't Tell You. Mungkin, di luar sana, ada seseorang yang pernah bertanya seperti saya dulu, "Gimana ya behind the scene sebuah penulisan novel?"
 
So, here it is. Saya akan membagikannya secara berangsur. Akan ada sepuluh episode dalam behind the scene ini, menyesuaikan banyaknya bab di novel I Love You; I Just Can't Tell You.
 
Selamat datang di episode pertama.
 
***

Sejak penulisan Dilema dan Swiss, saya selalu menyiapkan biodata tokoh dan outline sebelum menulis novel

Biodata tokoh saya gunakan untuk semakin mengenal karakter dalam novel; agar saya bisa merasa mereka di setiap apa yang mereka alami; agar saya bisa berpikir layaknya mereka. Biodata tokoh tak seputar nama, usia, dan hobi. Pun tak sekadar ciri fisiknya. Melainkan juga karakteristik mereka yang ditulis secara detail. Ini, ditulis semata-mata hanya untuk menguatkan karakter mereka. Kadang-kadang, saya juga mengumpulkan foto-foto karakter anime untuk memudahkan saya membayangkan tokohnya.
 
Sementara itu, outline dibuat untuk menghindari kemacetan ide di tengah jalan. We all have been there: Sudah menulis hingga halaman sekian, tapi tiba-tiba merasa stuck, halaman kosong berhari-hari, ide seolah menumpul. Outline a.k.a kerangka karangan sangat membantu untuk mencegah ini. Saya selalu menyiapkan outline hingga ia benar-benar matang; dari bab satu hingga akhir--supaya saya tak perlu melakukan editing mayor saat cerita telah ditulis secara keseluruhan.
 
Begitu pula dalam I Love You; I Just Can't Tell You. Saya telah melakukan dua hal tersebut, namun saya berpikir...

Harus ada sesuatu baru yang perlu saya lakukan; yang belum saya tulis dan temukan di novel-novel sebelumnya

Setiap kali hendak memulai menulis novel baru, termasuk I Love You; I Just Can't Tell You ini, saya mengumpulkan buku-buku yang setipe dengan kisah ini. Mengeksplorasi bacaan sebanyak-banyaknya, berusaha mencari sesuatu yang baru. Novel lokal, novel terjemahan, bahkan mencoba membaca novel berbahasa Inggris (unexpectedly, itu mempengaruhi gaya menulis saya dalam bahasa Indonesia, in a good way.). Namun, tetap, saya belum menemukan sesuatu yang baru itu. Okelah, saya telah mendapat karakter Daisy yang unik; gadis tujuh belas tahun yang tak tumbuh sebagaimana remaja lain; belum mengalami pubertas. (Dia adalah gadis yang kau lihat di kaver I Love You; I Just Can't Tell You).
 
Novel Remaja Sedih tentang Cinta Pertama
Yes, that's Daisy!
 
Saya menemukan kisah gadis SMA yang jatuh cinta pada anak kuliahan, dan masuk ke dalam kehidupan mereka yang belum pernah saya temui dalam novel-novel yang saya baca. Saya telah memutuskan untuk menggunakan sudut pandang pertama karena selama ini saya hanya menggunakan sudut pandang ketiga. Saya pun telah menentukan sudut pandang pertama ini akan ditulis dari tiga tokoh sekaligus; Daisy, Alan, Ve.
 
Namun, ini hanyalah sesuatu baru secara teknis.
 
Saya mencoba eksplorasi lagi. Kali ini, saya mencoba membeli beberapa manga yang banyak digemari perempuan, mencoba mencari tahu, "Apa sih yang membuat orang-orang menyukainya?" Saya juga mencoba menonton beberapa drama Jepang dan anime. Meski tak seluruhnya menjadi favorit, meski manga yang saya baca hanya begitu-begitu saja--saya menemukan suatu hal yang tidak saya temukan dari seluruh novel yang pernah saya baca: ketulusan.
 
Entah kenapa, ketika membaca atau menonton sebuah karya dari Jepang, seklise apa pun kisahnya, selalu ada ketulusan di sana. Ketulusan yang menghangatkan hati. Yang tiba dengan tepat di hati penonton drama/anime atau pembaca mang. Dan, di situlah saya tahu apa yang saya cari dalam tulisan: saya butuh ketulusan.

Namun, ketulusan dalam menulis novel bukan sekadar perasaan suka menulis

Orang-orang menulis karena mereka suka menulis. Well, some of them, begitu. Ketika menulis naskah Dilema dan Swiss, saya pun menyukainya, saya merasakan tokoh-tokohnya. Namun, ketika saya menemukan "ketulusan" ini, saya mendapati bahwa itu bukan sekadar ketulusan karena kau menyukai menulis. Namun, ketulusan yang dimaksud adalah... mengapa kau mengangkat kisah ini? Untuk apa? Untuk siapa?
 
Apa alasanmu sesungguhnya?
 
Apakah sekadar rasa suka dengan kisahnya? Well, ini normal. Kau harus menyukai ceritamu, dan ini selalu menjadi persyaratan saya dalam memulai sebuah naskah.
 
Namun, apakah hanya karena itu?
 
Apakah sekadar ingin menunjukkan bahwa kau bisa menulis sesuatu yang berbeda? Ini juga normal. Semua penulis perlu berkembang. Namun, apakah hanya sebatas itu? Sebatas kata-kata yang lebih indah? Sebatas kisah yang lebih menjanjikan?
 
FYI, sejak itu, saya juga sedang mengalami perubahan pola pikir--yang membuat saya berpikir lebih dalam, lebih mendetail. Dan, pola pikir itu membawa saya pada sebuah keputusan: saya ingin menulis sesuatu yang lebih bermanfaat. Saya selalu tertarik dengan dunia remaja. Maka, saya ingin menulis sesuatu yang berarti untuk mereka. I care for them. Dan, I Love You; I Just Can't Tell You adalah awal dari segalanya.

Saya tak mau sekadar menulis novel romance yang sebatas laki-laki dan perempuan, bertemu, jatuh cinta, konflik, baikan, jadian, happy ending

Saya ingin sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang ketika pembaca menutup bukunya mereka akan tersenyum, hangat hatinya, dan bergumam, "Oh, iya, ya.". Saya ingin sesuatu yang berkesan di hati. Ketika niat ini telah kokoh, atas kehendak Allah, sebuah adegan muncul dalam kepala saya. Adegan itu telah tertulis di halaman 234-236. Di sana, saya jadi sadar bahwa kisah cinta tak melulu seperti bertemu-konflik-jadian-happilyeverafter, kok.
 
***
 
Saya teringat sebuah drama Jepang, tentang seorang gadis yang menjadi pilot. Saat dia melihat pesawat terbang, dia menatap langit dan berkata kepada temannya, "Aku ingin menjadi pilot!" Dia mengutarakannya sungguh-sungguh, dengan tatapan yang teguh, dengan usaha yang nyata.
 
Di saat itu, saya berpikir, "Kita harus berani memperjuangkan mimpi kita. Lihat, dia adalah seorang gadis muda, tapi berani memutuskan menjadi pilot." Seperti menulis. Jika kau ingin menjadi penulis, menulislah, berjuanglah, jangan takut.
 
Namun, tiba-tiba, teman dari gadis itu berkata, "Kau ingin jadi pilot? Jangan berkata semudah itu. Saat kau menjadi pilot, itu bukan sekadar kau duduk di kokpit dan mengendalikan pesawat. Menjadi pilot tidak sedangkal itu. Saat menjadi pilot, kau menanggung nyawa ratusan orang yang ada di belakangmu. Apakah kau siap? Apakah kau sungguh-sungguh?"
 
And that words strike me. Sebagaimana menulis, ini bukan sekadar saya duduk di depan komputer, menuliskan kisah remaja favorit saya. Namun, di depan saya, ada pembaca-pembaca remaja, yang sebagaimana penumpang pesawat, yang harus saya "lindungi". Betapa kita merutuki acara televisi yang merusak dengan dalih melindungi remaja. Itu, berlaku pula dalam menulis novel. Setidaknya, untuk saya.
 
Namun, perlu dipahami bahwa tiap orang memiliki definisi ketulusan yang berbeda. Jangan merasa milikmu adalah yang terbaik. Ketulusan adalah sesuatu yang butuh dibenahi seumur hidupmu. Mudah-mudahan, kau menemukan ketulusan yang tepat.
 
***

Itulah bagaimana I Love You; I Just Can't Tell You lahir.

Inilah mengapa saya ingin membawamu pada kisah...
 
Daisy; gadis tujuh belas tahun yang tak pernah mengalami pubertas, tapi malah mengalami jatuh cinta untuk kali pertama. Alan; mahasiswa semester akhir yang tak banyak bicara, yang mungkin membuatmu ikut jatuh cinta. Dan, Ve; mahasiswi yang tertutup, yang membuatmu bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi padanya?"
 
Mereka memiliki kisah berbeda, tapi bersinggungan. (Dan, betapa sulit sekaligus menyenangkan mengatur kisah tiga tokoh dengan latar mereka agar saling menyatu dan mengisi. Butuh membongkar outline dan konsep beberapa kali.)
 
Namun, ini belum berakhir. Hanya karena saya sudah menemukan ketulusan dan konsep itu, bukan berarti menulis novel akan menjadi perjalanan yang mudah.

Bayangkan, saya sudah mendapatkan konsep yang pasti, outline yang utuh, karakter yang telah saya kenali luar dalam. Namun, memulai kata pertama, halaman pertama, itu tak pernah mudah.
 
Kau tahu rasanya.
 
Maka, salah satu solusi yang saya lakukan dalam menulis halaman pertama adalah...
 
Bersambung...
 
***
 
Tentang bagaimana saya menulis halaman-halaman awal I Love You; I Just Can't Tell You dan cara menulis halaman pertama (yang memikat) akan saya kisahkan pada behind the scene Episode 2. Will post it here on August 7th, 2015. Stay tuned, ya!
 
Di episode-episode berikutnya, saya juga akan menceritakan kisah saat saya mengalami stuck dan krisis percaya diri, saat buku ini telah berada di dapur redaksi; penentuan judul, proses pembuatan kaver, dan lain-lain yang berhubungan dengan pra-cetak di penerbit. 
 
***
 
Anyway, untuk kamu yang sedang menulis novel, mengapa kamu sungguh-sungguh ingin menulis novel? :)

Alvi Syahrin

Developer

A dream-oriented person since 1992. Telah menerbitkan dua novel: Dilema; Tiga Cerita untuk Satu Rasa dan Swiss; Little Snow in Zurich. Tak lama lagi, novel ketiganya, yang berjudul "I Love You; I Just Can't Tell You" akan terbit. Saat ini, selain merampungkan novel keempat, dia juga sedang mempersiapkan proyek-proyek untuk masa depan. Dan, satu hal yang selalu dia genggam erat dalam hidup ini: Akan ada sesuatu yang lebih baik dari sebuah kegagalan. Allah selalu tahu mana yang terbaik. Lagi pula, hidup tak melulu di dunia. Kau bisa menyapanya lewat Twitter, Instagram, dan ask.fm: AlviSyhrn.

5 comments:

  1. Membaca ini membuat saya teringat lagi. Tanpa sengaja saya memperhatikan kegelisahan Alvi tentang menulis novel remaja ini. Mengenai manfaat dan perlindungan bagi pembaca. Dimulai ketika saya membaca review Alvi untuk buku Ustadz Felix :)

    ReplyDelete
  2. Betul, Kak Eva, itu salah satu alasannya. Namun, juga, ada beberapa alasan lain yang menjadi pertimbanganku ini, sebenarnya. Terima kasih, Kak Eva, sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Sukses selalu.

    ReplyDelete
  3. Jadi ingat dengan tumpukan naskah yang belum selesai.. XD

    ReplyDelete
  4. Nice Alvi. Terimakasih telah berbagi ;)

    ReplyDelete
  5. pertama denger namanya saya kira pengarangnya cwek loh mas.. salam kenal..sukses selalu mas.. *membaca tips ini menjadi ingin beli dan baca bukunya :D

    ReplyDelete