Kini, Saya Sudah Menemukan Jawaban dari "Mengapa Memilih Menulis Novel Remaja?" Itu, Karena...

by 9:01 AM 11 komentar
 
Dulu, saat menyusun kalimat pertama untuk novel pertama, saya tak pernah berpikir jauh-jauh, selain:

ini yang saya ingin lakukan, dan saya menikmatinya, sangat;

menjadi penulis adalah impian saya;

setidaknya, saya bisa menghibur pembaca yang ingin lari sejenak dari kehidupan nyata;

tak ada yang bisa menghentikan saya.

Namun, itu semua berubah ketika langkah kaki saya memijaki sebuah toko buku, pada suatu sore, dan menemukan segerombolan gadis-gadis SMP di depan rak novel. Mereka bertiga memandangi rak raksasa itu. Bila ini komik, mungkin kepala mereka akan menunjukkan sebuah tanya,
 "Beli apa, ya?"
 
Saya tersenyum kecil kala itu. Kenyataan bahwa mereka senang membaca melegakan hati saya.

Namun, ketika saya dekatkan langkah dan melirik ke arah mereka, saya merasa sesuatu aneh dalam hati.

Sesuatu yang tidak mengenakkan.

Jadi, begini,

ketika melirik ke arah mereka, saya mendapati raut wajah yang masih kekanak-kanakan. Seperti anak kelas enam SD yang baru lulus. Mungkin baru kelas satu SMP. Sekitar dua belas atau tiga belas tahun. Baru puber; baru menginjak masa-masa remaja; masa penuh jungkir balik dan kelabilan dalam hidup seseorang.

Saya berusaha acuh tak acuh dan fokus terhadap novel-novel di rak yang sama dengan rak yang mereka lihat juga.

Selagi menyisir pilihan-pilihan buku yang ada, saya mendengar mereka berkisah tentang seseorang yang mereka suka. Mungkin, pacar. Dan, mereka menyebut tentang...

Well, lebih baik tidak saya tuliskan di sini. Petunjuk: Bukan hal besar sebenarnya. Menurut banyak orang, ini sepele, sudah biasa, tak ada apa-apanya.

However, small things always bring you to the big things.

Mereka bahkan masih mengenakan seragam putih-birunya, dengan suara seorang perempuan yang belum matang, berbicara tentang hal yang sudah-terlalu-sering-terjadi-dan-dianggap-wajar-tapi-sesungguhnya-sedikit-terlalu-jauh untuk usia mereka.

Jujur saja, saya tidak tega.

Saya jadi teringat momen ketika linimasa Twitter dipenuhi oleh kicauan-kicauan galau dari para remaja untuk seseorang yang mereka sukai, alih-alih galau terhadap cita-cita di masa depan, pelajaran sekolah yang sulit dipahami, dan hal-hal bermakna lainnya; linimasa Facebook yang dipadati oleh artikel-artikel tentang remaja yang bertindak di luar batas--antara laki-laki dan perempuan--serta foto-foto yang tersebar bebas di internet. Belum lagi, ketika saya mendapati sebuah akun Facebook murid SD kelas 4 (jika tidak salah) yang sudah memiliki pacar (yang juga masih SD), dan menulis berbagai macam status layaknya surat cinta... yang tak pantas untuk seumurannya.
 
Karena terjadinya hal ini, orang-orang berspekulasi: ini karena lingkungan, tontonan tv, musik video dari penyanyi favorit, ini-itu.
 
Dan, kini, mereka berdiri di depan calon novel yang akan mereka bawa pulang. Masih memilih. Mendadak, di waktu yang sama, saya, yang masih 22 tahun, merasa menjadi orangtua mereka. Jika mereka membawa pulang novel yang kini sedang mereka pegang dan perbincangkan, akankah saya membolehkannya?

Mereka hanyalah gadis remaja. Dan, kita semua tahu: saat kita masih remaja, betapa mudah kita terpengaruh oleh sesuatu.

Kala itu, saya ada di sana. Kenyataannya, saya bukan siapa-siapa mereka. Saya bukan tipikal orang yang akan berkata, "Hey, Dek, coba deh baca yang ini saja," pada orang asing.
 
But I feel responsibility to do what's upstanding and right.
 
Jadi, saya bilang kepada diri sendiri, "Saya akan melakukan sesuatu."

Sebenarnya, tepat saat itu, saya sudah menyimpan ide I Love You; I Just Can't Tell You di kepala. Jadi, saya sambungkan pemikiran tadi dengan, "Saya harus segera menuliskan ini."

***

Sebelum bertemu murid-murid SMP itu, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, sesuatu terjadi dalam diri saya. Sesuatu yang mengubah banyak dalam diri saya. Salah satunya adalah pola pikir. Ke arah lebih baik tentunya, insya Allah.

Masih terpatri dalam ingatan, suatu sore yang masih muda, saya berjalan ke suatu tempat, berpikir tentang dua novel yang telah saya tulis dan terbitkan, Dilema dan Swiss, juga berpikir tentang ide apa yang akan saya tulis berikutnya.

Namun, karena terjadi perubahan dalam diri saya, saya pun mulai bertanya-tanya...

Untuk apa saya menulis? Pemuasan diri untuk menjadi penulis saja? Hanya ingin merasa kesenangan dibaca oleh pembaca? Supaya dapat penghargaan? Supaya best-seller? Atau apa...?

Saya gali terus jawabannya.

Dalam kepercayaan saya, saya percaya akan adanya hari akhir. Hari ketika segalanya harus dipertanggungjawabkan.

And, it really scares me. Hingga hari ini.

Apa yang bisa saya pertanggungjawabkan dari tulisan saya?

And, strike. That was the moment that I wanted to give up.

Namun, saya tetap berdoa, mencari jalan keluar. Diiringi buku-buku yang saya baca, saya menemukan sebuah ide novel.

Ide itu telah mewujud sebuah novel yang bisa kau temukan di toko buku. I Love You; I Just Can't Tell You.
 
novel romance indonesia

 And, strike. This is the moment I don't want stop writing.

Masa-masa pencarian jati diri dalam menulis akhirnya terlewati. It was really, really tough. But I'm happy to make it. Saya telah menemukan bahwa, untuk saat ini, saya ingin menulis untuk remaja, karena...

Simply I want to save them.

Sebab, pernah pula saya melihat langsung pertengkaran antara seorang remaja dengan orangtuanya hanya karena ingin mempertahankan pacarnya, dan betapa sangat menyakitkan melihat itu.
 
Sangat sakit melihat mereka memperjuangkan seseorang yang baru mereka kenali beberapa bulan lalu atau, mungkin, hitungan minggu dengan menentang seseorang yang telah mencintai mereka seumur hidupnya.

I really want to save them.

Saya tidak mau mereka terjebak dalam kisah cinta yang salah. Saya ingin, ketika mereka menutup buku yang saya tulis, mereka akan tersenyum dan berkata, "Ah! This is it!" untuk kegalauan yang sedang mereka hadapi. Anggap saja buku-buku saya kelak adalah suara dari kakak laki-laki yang tak pernah kau miliki dan berharap kau jadi adik lebih baik. Tak akan ada yang tersudut, tak akan ada yang dihakimi.
 
Akan tetapi, ini tidak berakhir begitu saja. Saya sempat meragu atas pilihan ini. Menulis karena ini? Yakin? Sebagian penulis berprinsip bahwa menulis, ya menulis. Tak perlu berpikir keras tentang pesan moral. Biarkan pembaca menemukannya. Sebagian penulis berprinsip menulis untuk memberi manfaat, namun mereka pun sering dikritik karena, jika ingin memberi nasihat, sudah ada mimbar yang bisa mereka isi.
 
Tiap pilihan memiliki risiko. Setelah menguatkan niat dengan susah payah, saya mengambil pilihan dengan risiko dikritik bahwa sudah-ada-mimbar-bla-bla-bla, tanpa rasa takut, karena saya tahu apa yang mendasari pilihan saya.
 
Dan, itu membuat saya damai dalam menulis.
 
Bukankah "damai" juga adalah salah satu hal yang kau cari saat menulis?

Ini juga membuat saya bisa bercerita dari lubuk hati paling dalam.

Bukankah menulis dari hati adalah salah satu hal terbaik dalam menulis?
 
Let me take a deep breath and smile for a second.

Jadi, sekarang, saya sudah menemukan mengapa saya menulis. Kini, ini sudah bukan sekadar eksplorasi bacaan, kata-kata yang menyihir, tapi juga tanggungjawab yang terselip di dalamnya. Dimulai dari I Love You; I Just Can't Tell You, saya akan berusaha untuk tak sekadar memberikan hiburan, tapi juga sesuatu yang membekas saat novel ditutup.

Jika kamu bertanya, apakah naskah saya selalu bertokoh remaja? Tidak juga. Ya, remaja selalu jadi tokoh utama. Namun, untuk menghindari kebosanan, saya juga akan menggabungkan kehidupan SMA dan perkuliahan dalam satu novel--menyesuaikan novel yang ditulis. 
 
Dan, senang rasanya ketika mengetahui ada seorang kakak yang membaca novel I Love You; I Just Can't Tell You, dan berkata langsung kepada saya, "Saya bisa memberikan buku ini kepada adik saya."
 
Saya semakin yakin dengan pilihan ini. Suatu waktu, ini bisa jadi berubah, tapi alasan yang saya mendasari semua ini tak akan berubah, insya Allah.

So,
 
hi, you,
 
yes, you who is currently reading this word,
 
saya memang bukan siapa-siapamu, but I feel the responsibility, and I want to save you...
 
to save me in afterlife.

***
 
"In your life, you'll do things greater than dating a boy on a football team,
 
but I didn't know it at fifteen."
 
***
 
-- alvi syahrin
 

Alvi Syahrin

Developer

A dream-oriented person since 1992. Telah menerbitkan dua novel: Dilema; Tiga Cerita untuk Satu Rasa dan Swiss; Little Snow in Zurich. Tak lama lagi, novel ketiganya, yang berjudul "I Love You; I Just Can't Tell You" akan terbit. Saat ini, selain merampungkan novel keempat, dia juga sedang mempersiapkan proyek-proyek untuk masa depan. Dan, satu hal yang selalu dia genggam erat dalam hidup ini: Akan ada sesuatu yang lebih baik dari sebuah kegagalan. Allah selalu tahu mana yang terbaik. Lagi pula, hidup tak melulu di dunia. Kau bisa menyapanya lewat Twitter, Instagram, dan ask.fm: AlviSyhrn.

11 comments:

  1. Aku belum baca novelmu, Kak. Karena belum bisa beli juga sih hehe. But after read this blog, rasanya aku jadi kepikiran juga apa aku nulis hanya ingin sekedar nulis? Apa nggak bisa meninggalkan jejak positif untuk pembaca setelah selesai baca ceritaku?

    Ah, Kak Alvi emang inspiratif banget tulisannya. Thanks Kak udah nyadarin aku akan sesuat hal. Kita harus mempertanggungjawabkan tulisan untuk masa depan :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Well, I was inspired by those little girls. Atas kehendak Allah, tentunya.

      Delete
  2. Aku juga berpikir tentang hal itu, Alvi. Apa aku bisa mempertanggungjawabkan tulisanku nanti? It's been haunting me, dan aku pengin di tulisan berikutnya, aku bisa lepas dari kegelisahan itu.

    ReplyDelete
  3. Nice, Alvi :) glad to know that there' s a young author is thinking those all.

    Semoga next chance aku bisa baca novelnya.

    May Allah bless u, Brader ;)

    ReplyDelete
  4. Keren banget vi....semoga tetep istiqomah...dan karya2mu membawa kebaikan....

    ReplyDelete
  5. Nice post! Semoga dibaca oleh remaja-remaja di persimpangan jalan. Terus menulis, Alvi!

    ReplyDelete
  6. Hai kak Alvi! Jujur, aku belum baca karya kakak sebelumnya, bahkan baru mengetahui 'Alvi Syahrin' saat GagasMedia mengadakan event kemarin itu dan di situ langsung bertekad nyari buku-buku karangan 'Alvi Syahrin', apalagi yang terbaru ini~, ya aku memang masih baru dalam dunia perbukuan. Aku merasa 'gimana gitu' setelah baca artikel ini, serius! Jadi mikir mungkin selama ini kalau aku jalan ke Gramed, mungkin juga ada orang-orang yang memperhatikan gerak-gerik anak sepertiku saat menelusuri berbagai rak buku dengan perasaan gembira :)) Eh, daku juga murid putih-biru alias SMP kok :)) Daku termasuk anak yang sadar diri kok kak, 'masih' suka baca buku teenlit :)) Hihi semangat ya kak nulis buku buat para remaja ^^

    ReplyDelete
  7. Seni yang berpadu dengan religiusitas. Selamat atas pencapaian spiritualitasnya. Semoga aku bisa mengekor jejakmu, sukses kak Alvi.

    ReplyDelete
  8. Wah, aku sering mengalami kayak gitu, lho. Pergi ke Gramed, banyak remaja pakai seragam nyamper ke rak yang sama dan ngambil novel-novel yang, uhm, belum pas dibaca. Aku sering ikut campur ngasih tahu mana buku yg pas dan enak buat mereka baca dan senangnya, mereka ga keberatan dikasih tahu. Pernah juga ada orangtua nanyain buku bagus buat anaknya ke aku, atau ponakan pun adik-adik sepupu yang nanya, dst. Sekarang, setelah tahu buku ka Alvi bertema remaja, aku jadi ada tambahan novel yang bisa aku rekomendasikan ke banyak orang, nih. Semoga istiqomah, kak!

    ReplyDelete