Showing posts with label Life. Show all posts
Showing posts with label Life. Show all posts
Berbicara tentang rumah tangga, saya selalu membayangkan roller coaster.
 
Kala roller coaster mulai berjalan, keraguan muncul hingga hatimu bergumam, "Apakah ini akan baik-baik saja?"
 
Saat roller coaster menukik menuju puncak, ketakutan datang hingga hatimu bertanya, "Apakah ini yang disebut menyesal?"
 
Kemudian roller coaster melandai dari puncak tertinggi dengan kecepatan tertinggi, membuatmu berteriak kencang, sekencang-kencangnya, menyesal, merutuki mengapa kau memilih semua ini, bertanya-tanya kembali tentang keputusan yang telah kau buat.
 
Namun, ketika roller coaster tersebut telah kembali pada jalur normalnya, kau tertawa dan berkata, "It's worth the fight."
 
Kau merasa tenang beberapa saat.
 
Lalu, wahana itu berputar lagi, mengulang rasa-rasa itu: meragu, takut, bahagia, lepas,
 
dan... tenang.
 
Saya percaya bahwa kehidupan rumah tangga tak akan selalu berjalan mulus--dan, kita semua setuju tentang itu. Akan ada highest point saat kau sungguh-sungguh bahagia dengan pilihanmu dan lowest point saat kau merasa ini berada di tepi jurang. Saya tidak takut, it's price you have to pay. Lagi pula, semua rumah tangga pasti mengalaminya.
 
Namun, saya penasaran tentang bagaimana caranya bertahan. Saya juga penasaran tentang detail-detail kecil, seperti, "Apa yang terjadi setelah proses ijab qabul antar kamu dan pasanganmu?", "Apa yang terjadi dan harus dilakukan saat pertengkaran pertama?", "Apa yang perlu kita lakukan agar pasangan kita selalu senang bersama kita?", "Bagaimana perasaan memiliki anak kedua? Bagaimana kita menjaga perasaan sang kakak?".
 
Banyak sekali.
 
Hingga suatu ketika, saya menemukan gambar ini di linimasa Facebook.
 
 
 
Sampul dan judulnya menarik hati saya. Sebuah gambar rumah sederhana, dengan asap. Itu, menjelaskan segala hal tentang rumah tangga.
 
Terlebih lagi, penulisnya adalah Fahd Pahdepie. Saya tak akan menjelaskan tentang beliau di sini karena kau dapat menemukannya di Wikipedia.
 
Hal yang terbaik tentang sampul buku itu: saya dapat membukanya dan membaca isinya.
 
Saya selalu mengagumi kisah-kisah sederhana, yang menyelipkan sebuah pesan baik, yang membuat saya berpikir dalam, merenung, lalu tersenyum, dan bergumam, "Ah, iya!"
 
Saya menemukan semua itu di buku ini, termasuk detail-detail kecil yang ingin saya sampaikan di atas tadi.
 
Saya akan memberi tahu kepada kalian, tujuh alasan mengapa saya menyukai buku ini...
 
dan, tujuh alasan yang bisa jadi membuatmu menyukai buku ini juga. 
 

1. Rumah Tangga ditulis dengan gaya bahasa sederhana, namun menyihir.

Saya adalah tipikal pembaca yang lumayan terbuka dengan gaya menulis apa saja. Malah, itu sebuah kebutuhan. Ketika telah banyak membaca buku dengan kisah dan gaya bahasa ringan, saya akan memilih buku yang lebih berat baik dari kisah dan gaya penulisan. (Tentu, "ringan" dan "berat" versi saya).
 
Rumah Tangga is something in between. Pemilihan kata dan penyusunan kalimat-kalimatnya sangat membumi. Namun, di saat yang sama, kata-kata sederhananya itu membentuk sesuatu yang ajaib.
 
Ya, ajaib.
 
Saya bukan pembaca paling baik dalam berimajinasi. Namun, ada satu bagian dari buku ini yang membuat saya dapat menyaksikan langsung adegannya. Yakni, saat penulis bercerita masa kecilnya. Sang penulis berkata pada ayahnya bahwa dia ingin layang-layang.
 
Ayah menyetujui keinginannya. Namun, ayahnya bertanya kembali, "Kamu tahu bagaimana cara menerbangkan layang-layang?"
 
Sang penulis menggeleng.
 
Maka, ayahnya berkata bahwa beliau akan mengajarkan mencari angin, mengajaknya ke sawah untuk menerbangkan layang-layang bersama-sama, memegang benang bersama-sama, lalu, bersama-sama, melihat layang-layang itu terbang ke angkasa.
 
Setelah mereka lelah bermain layang-layang, ayahnya berkata,
 
"Fahd, mudah-mudahan ini sederhana, dan kamu akan selalu mengingatnya.
 
Kelak, jangan bercita-cita membeli rumah untuk istrimu, bercita-citalah untuk tinggal bersama dan hidup bahagia, selama-lamanya,
 
Jangan bercita-cita memiliki kendaraan mewah untuk anak-anakmu, berdoalah agar kalian bisa pergi bersama-sama, bertamasya, atau berbelanja dengan bahagia."
 
Kata-katanya sederhana sekali, tapi mendarat dengan tepat di tujuan: hati.
 
Saya sudah tersihir sejak sang penulis menceritakan tentang bermain layang-layang itu.
 
Kelak, saat kau membacanya, mungkin kau akan merasakan sensasi yang sama. Atau, sensasi yang berbeda, dengan cara yang lebih baik.
 
Sekadar informasi, sebenarnya kutipan itu masih ada lanjutannya. Tak akan seru bila dibeberkan semuanya.
 

2. Rumah Tangga diangkat dari kisah nyata.

Sejujurnya, saya tidak begitu tertarik membaca kisah yang didasarkan dari kisah nyata. Tetapi, kadang, kita butuh melihat sesuatu yang nyata untuk mendapat jawaban sesungguhnya, kan?
 
Kita bisa menulis fiksi tentang rumah tangga dengan alur dan gaya menulis yang luar biasa. Tak lupa juga dengan akhir bahagia. Tetapi, kisah nyata tidak selalu begitu,
 
dan, itulah yang ditawarkan buku ini.
 
Realistis.
 
Kita dapat melihat secara langsung "momen sendiri" sang penulis beberapa menit sebelum berlangsungnya pernikahan. Ikut merasakan dag-dig-dug sebelum mengucap ijab qabul (untuk para laki-laki), ikut menjawab pertanyaan para wanita yang bertanya, "Apa yang laki-laki pikirkan beberapa menit sebelum mereka memutuskan hidup selamanya bersama kami?"
 
Saya punya satu pertanyaan, "Bagaimana, ya, hati seseorang yang telah berumah tangga? Bagaimana rasanya menjadi seorang suami? Bagaimana rasanya menjadi seorang ayah?" Saya berpikir ini pasti sulit, ada tanggung jawab besar di baliknya. Baik di dunia maupun akhirat.
 
Namun, di buku ini, saya belajar...
 
Kadang-kadang, kita perlu menikmati alurnya saja, seperti saat berada di roller coaster,
 
but always take it seriously.
 
Saya pun belajar tentang beberapa tanggung jawab; yang belum saya temukan sebelumnya dari pembelajaran saya tentang rumah tangga.
 

3. Rumah Tangga mengangkat fenomena masa kini, yeng membuat kita jadi bertanya-tanya, "Mana, ya, yang benar?"

Di linimasa Facebook-mu, kau pasti pernah menemukan artikel Ibu-Tinggal-di-Rumah VS Ibu-Mengejar-Karir.
 
Dalam kepercayaan saya, rida suami terhadap istrinya adalah segalanya. Hal-hal yang dilakukan istri harus berdasarkan izin suami, karena suami juga bertanggung jawab terhadap istrinya. Correct me if I'm wrong. Maka dari itu, jika kau adalah laki-laki dan ditanya, "Istrimu harus bekerja atau tinggal di rumah?", kau tidak dapat serta-merta berkata, "Itu pilihan istri saya. Terserah dia." Kau adalah penganggung jawabnya, kau harus punya alasan kuat pula pada pilihan istrimu.
 
Kau juga tak dapat menentukan pilihan istrimu begitu saja. Harus selalu ada alasan kuat. Dan, komunikasi yang dilakukan baik-baik dengan istri. Hingga menghasilkan kesepakatan bersama, supaya tak ada yang tersakiti. Correct me if I'm wrong.
 
Dan, saat membaca bab tentang Ibu-Tinggal-di-Rumah VS Ibu-Mengejar-Karir yang tertulis dalam buku ini, saya senang sekali ada yang menyuarakan pendapat ini. Buku ini menjawab keresahan yang terjadi antar dua golongan itu. Sang penulis juga memberikan contoh nyata yang berkaitan perihal ini.
 
Rasa-rasanya, saya ingin menunjukkan apa yang ditulis dalam buku ini kepada mereka yang masih berdebat soal ini.
 
Dan, saya yakin... sebagian laki-laki yang membaca bagian ini pasti akan termenung lama, dan, pelan-pelan, mengangguk setuju.
 
Sementara itu, sebagian perempuan yang membaca bagian ini pasti akan hangat hatinya.
 
*
 
Kebetulan, saya punya kawan yang bertanya, "Apakah perempuan harus benar-benar mengikuti pilihan suami?"
 
Saat itu, saya bilang, "Kalau itu pilihan yang benar, maka iya."
 
"Tetapi, aku rasa, komunikasi selalu dibutuhkan, nggak bisa satu arah," tambah saya, kurang-lebih begitu.
 
Saya jadi ingin menunjukkan bab ini kepadanya.
 

4. Rumah Tangga terasa seperti tulisan dari seorang senior yang telah menikah untuk para juniornya, juga kawan-kawan seangkatannya, untuk belajar bersama.

Dari judulnya, saya pikir buku ini akan lebih cocok bagi mereka yang telah menikah. Namun, saya yang belum menikah mendapat banyak masukan dari sang penulis. Tanpa kesan menggurui. Sedikit pun.
 
Apa-apa yang telah saya tulis di atas sudah jadi "cuplikan" dari pelajaran hidup yang didapatkan di buku ini.
 
Sebenarnya, masih banyak lagi.
 
 
 

5. Rumah Tangga memiliki, minimal, satu bagian yang akan menyentuhmu secara personal

Salah satu sebuah buku disukai adalah karena ia memiliki personal touch. Untuk kau yang memiliki banyak pertanyaan tentang kehidupan rumah tangga, maka personal touch dari sang penulis akan menyentuhmu, di beberapa bagian.
 
Ada satu bab dari buku ini yang benar-benar menyentuh hati saya.
 
Bab "Teladan dari Ayah".

Bab itu bercerita tentang mimpi ibu sang penulis yang ingin berhaji bersama suami. Namun, keadaan keuangan keluarga membuat mimpi ini menjadi ketinggian.
 
Beliau harus realistis. Menunda mimpi. Dalam penantian itu, ada satu momen ketika beliau harus berusaha ikhlas terhadap sesuatu yang amat sangat menyakitkan. Saya pun bisa merasakannya.
 
Sakit sekali, dan sedih...
 
Beliau sampai bilang, "Jika Ayah bisa memberangkatkan Ibu ke Mekah, Ayah boleh menikah lagi..."
 
Saking mustahilnya mimpi itu.
 
Saya juga punya satu mimpi yang tampaknya ketinggian. (Tetapi, saya percaya tak akan ada yang ketinggian bagi Allah; segalanya mungkin terjadi). Sama-sama berhubungan dengan Saudi Arabia. Saya tidak ragu dengan mimpi ini. Tapi, siapalah saya... hanya manusia yang bahkan memastikan apa yang terjadi satu detik kemudian secara akurat, saya tak mampu. Saya pun berusaha ikhlas jika mimpi ini tidak tercapai. (Won't give up, though). Dan, kadang, saya sedikit sedih membayangkannya. Tapi, saya ikhlas.
 
Lalu, akhir dari kisah ibu ini membuat saya tersenyum. Dan, semakin semangat terhadap mimpi itu. Dan, semakin percaya. (Sama-sama berhubungan dengan Saudi Arabia, soalnya).
 
Bahwa, ada beberapa mimpi yang perlu dirawat. :)
 
Lalu, apa hubungannya dengan rumah tangga?
 
Kau akan menemukannya di paragraf terakhir bab ini. Something that will make you smile.
 

6. Kisahnya yang sederhana--mungkin kau pernah/akan mengalaminya

Kisah cinta di novel ini bukan kisah rumah tangga yang dramatis, yang membuatmu hatimu jumpalitan kala membacanya. Segalanya serba sederhana, dan itu membuatnya terasa dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari. Seakan kau pernah/akan mengalaminya.
 
Mulai dari keragu-raguan orangtua saat anaknya memutuskan menikah, kesangsian orangtua terhadap pilihan anaknya (serta ketidaksetujuan mereka), nasihat-nasihat ayah, pertanyaan dari seorang istri tentang poligami, momen-momen sederhana bersama keluarga baru.
 
Omong-omong, ada satu bagian yang saya suka sekali dari buku ini.
 
begini, jadi, melalui sebuah bab tentang kilas balik keluarga sang istri, penulis seolah bertanya, "Mengapa orangtua yang tidak sempurna itu ada?"
 
Jawabannya pun sederhana: karena kita pun bukan anak-anak yang sempurna.
 
Kesederhanaan ini membuatnya spesial.
 
 
 

7. Rumah Tangga adalah sebuah karya yang sempurna karena ia punya semua hal: kelebihan dan kekurangan.

Berdasarkan KBBI, sempurna berarti utuh dan lengkap. Sebuah buku tanpa kekurangan, berarti tidak sempurna, kan? Buku ini pun begitu. Ia sempurna bersama kekurangan dan kelebihannya. Jika ditanya apa kekurangannya--well, ini hanya masalah personal saya saja. Saya adalah tipikal orang yang selalu membutuhkan keakuratan sebuah ilmu. Ketika membaca sedikit kisah-kisah sejarah Nabi, saya butuh keautentikannya/sumber yang dapat dijadikan pegangan. Agar saya dapat percaya. Pasalnya, ilmu saya masih sangat minim, dan saya ingin selalu mendapatkan sumber yang benar. Ini hal yang penting buat saya. (Ini bukan kekurangan jika cuplikan kisah Nabi di sana ternyata terbukti benar.)
 
Terlepas dari itu, buku ini sudah memasuki level "saya menyukainya!", dan ketika saya menyukai sebuah buku, saya akan fokus pada kelebihannya. Dan, kelebihan buku ini? Tujuh alasan ini sesungguhnya tak cukup,
 
jika kau sudah membaca buku ini, coba tambahkan satu alasan mengapa kau menyukai buku ini di kolom komentar.
 
Dan, saya juga ingin tahu: apa yang kau pikirkan tentang rumah tangga?
 
 
 
*
 
Sampai jumpa di post berikutnya!
 
--alvi syahrin
 
Dulu, saat menyusun kalimat pertama untuk novel pertama, saya tak pernah berpikir jauh-jauh, selain:

ini yang saya ingin lakukan, dan saya menikmatinya, sangat;

menjadi penulis adalah impian saya;

setidaknya, saya bisa menghibur pembaca yang ingin lari sejenak dari kehidupan nyata;

tak ada yang bisa menghentikan saya.

Namun, itu semua berubah ketika langkah kaki saya memijaki sebuah toko buku, pada suatu sore, dan menemukan segerombolan gadis-gadis SMP di depan rak novel. Mereka bertiga memandangi rak raksasa itu. Bila ini komik, mungkin kepala mereka akan menunjukkan sebuah tanya,
 "Beli apa, ya?"
 
Saya tersenyum kecil kala itu. Kenyataan bahwa mereka senang membaca melegakan hati saya.

Namun, ketika saya dekatkan langkah dan melirik ke arah mereka, saya merasa sesuatu aneh dalam hati.

Sesuatu yang tidak mengenakkan.

Jadi, begini,

ketika melirik ke arah mereka, saya mendapati raut wajah yang masih kekanak-kanakan. Seperti anak kelas enam SD yang baru lulus. Mungkin baru kelas satu SMP. Sekitar dua belas atau tiga belas tahun. Baru puber; baru menginjak masa-masa remaja; masa penuh jungkir balik dan kelabilan dalam hidup seseorang.

Saya berusaha acuh tak acuh dan fokus terhadap novel-novel di rak yang sama dengan rak yang mereka lihat juga.

Selagi menyisir pilihan-pilihan buku yang ada, saya mendengar mereka berkisah tentang seseorang yang mereka suka. Mungkin, pacar. Dan, mereka menyebut tentang...

Well, lebih baik tidak saya tuliskan di sini. Petunjuk: Bukan hal besar sebenarnya. Menurut banyak orang, ini sepele, sudah biasa, tak ada apa-apanya.

However, small things always bring you to the big things.

Mereka bahkan masih mengenakan seragam putih-birunya, dengan suara seorang perempuan yang belum matang, berbicara tentang hal yang sudah-terlalu-sering-terjadi-dan-dianggap-wajar-tapi-sesungguhnya-sedikit-terlalu-jauh untuk usia mereka.

Jujur saja, saya tidak tega.

Saya jadi teringat momen ketika linimasa Twitter dipenuhi oleh kicauan-kicauan galau dari para remaja untuk seseorang yang mereka sukai, alih-alih galau terhadap cita-cita di masa depan, pelajaran sekolah yang sulit dipahami, dan hal-hal bermakna lainnya; linimasa Facebook yang dipadati oleh artikel-artikel tentang remaja yang bertindak di luar batas--antara laki-laki dan perempuan--serta foto-foto yang tersebar bebas di internet. Belum lagi, ketika saya mendapati sebuah akun Facebook murid SD kelas 4 (jika tidak salah) yang sudah memiliki pacar (yang juga masih SD), dan menulis berbagai macam status layaknya surat cinta... yang tak pantas untuk seumurannya.
 
Karena terjadinya hal ini, orang-orang berspekulasi: ini karena lingkungan, tontonan tv, musik video dari penyanyi favorit, ini-itu.
 
Dan, kini, mereka berdiri di depan calon novel yang akan mereka bawa pulang. Masih memilih. Mendadak, di waktu yang sama, saya, yang masih 22 tahun, merasa menjadi orangtua mereka. Jika mereka membawa pulang novel yang kini sedang mereka pegang dan perbincangkan, akankah saya membolehkannya?

Mereka hanyalah gadis remaja. Dan, kita semua tahu: saat kita masih remaja, betapa mudah kita terpengaruh oleh sesuatu.

Kala itu, saya ada di sana. Kenyataannya, saya bukan siapa-siapa mereka. Saya bukan tipikal orang yang akan berkata, "Hey, Dek, coba deh baca yang ini saja," pada orang asing.
 
But I feel responsibility to do what's upstanding and right.
 
Jadi, saya bilang kepada diri sendiri, "Saya akan melakukan sesuatu."

Sebenarnya, tepat saat itu, saya sudah menyimpan ide I Love You; I Just Can't Tell You di kepala. Jadi, saya sambungkan pemikiran tadi dengan, "Saya harus segera menuliskan ini."

***

Sebelum bertemu murid-murid SMP itu, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, sesuatu terjadi dalam diri saya. Sesuatu yang mengubah banyak dalam diri saya. Salah satunya adalah pola pikir. Ke arah lebih baik tentunya, insya Allah.

Masih terpatri dalam ingatan, suatu sore yang masih muda, saya berjalan ke suatu tempat, berpikir tentang dua novel yang telah saya tulis dan terbitkan, Dilema dan Swiss, juga berpikir tentang ide apa yang akan saya tulis berikutnya.

Namun, karena terjadi perubahan dalam diri saya, saya pun mulai bertanya-tanya...

Untuk apa saya menulis? Pemuasan diri untuk menjadi penulis saja? Hanya ingin merasa kesenangan dibaca oleh pembaca? Supaya dapat penghargaan? Supaya best-seller? Atau apa...?

Saya gali terus jawabannya.

Dalam kepercayaan saya, saya percaya akan adanya hari akhir. Hari ketika segalanya harus dipertanggungjawabkan.

And, it really scares me. Hingga hari ini.

Apa yang bisa saya pertanggungjawabkan dari tulisan saya?

And, strike. That was the moment that I wanted to give up.

Namun, saya tetap berdoa, mencari jalan keluar. Diiringi buku-buku yang saya baca, saya menemukan sebuah ide novel.

Ide itu telah mewujud sebuah novel yang bisa kau temukan di toko buku. I Love You; I Just Can't Tell You.
 
novel romance indonesia

 And, strike. This is the moment I don't want stop writing.

Masa-masa pencarian jati diri dalam menulis akhirnya terlewati. It was really, really tough. But I'm happy to make it. Saya telah menemukan bahwa, untuk saat ini, saya ingin menulis untuk remaja, karena...

Simply I want to save them.

Sebab, pernah pula saya melihat langsung pertengkaran antara seorang remaja dengan orangtuanya hanya karena ingin mempertahankan pacarnya, dan betapa sangat menyakitkan melihat itu.
 
Sangat sakit melihat mereka memperjuangkan seseorang yang baru mereka kenali beberapa bulan lalu atau, mungkin, hitungan minggu dengan menentang seseorang yang telah mencintai mereka seumur hidupnya.

I really want to save them.

Saya tidak mau mereka terjebak dalam kisah cinta yang salah. Saya ingin, ketika mereka menutup buku yang saya tulis, mereka akan tersenyum dan berkata, "Ah! This is it!" untuk kegalauan yang sedang mereka hadapi. Anggap saja buku-buku saya kelak adalah suara dari kakak laki-laki yang tak pernah kau miliki dan berharap kau jadi adik lebih baik. Tak akan ada yang tersudut, tak akan ada yang dihakimi.
 
Akan tetapi, ini tidak berakhir begitu saja. Saya sempat meragu atas pilihan ini. Menulis karena ini? Yakin? Sebagian penulis berprinsip bahwa menulis, ya menulis. Tak perlu berpikir keras tentang pesan moral. Biarkan pembaca menemukannya. Sebagian penulis berprinsip menulis untuk memberi manfaat, namun mereka pun sering dikritik karena, jika ingin memberi nasihat, sudah ada mimbar yang bisa mereka isi.
 
Tiap pilihan memiliki risiko. Setelah menguatkan niat dengan susah payah, saya mengambil pilihan dengan risiko dikritik bahwa sudah-ada-mimbar-bla-bla-bla, tanpa rasa takut, karena saya tahu apa yang mendasari pilihan saya.
 
Dan, itu membuat saya damai dalam menulis.
 
Bukankah "damai" juga adalah salah satu hal yang kau cari saat menulis?

Ini juga membuat saya bisa bercerita dari lubuk hati paling dalam.

Bukankah menulis dari hati adalah salah satu hal terbaik dalam menulis?
 
Let me take a deep breath and smile for a second.

Jadi, sekarang, saya sudah menemukan mengapa saya menulis. Kini, ini sudah bukan sekadar eksplorasi bacaan, kata-kata yang menyihir, tapi juga tanggungjawab yang terselip di dalamnya. Dimulai dari I Love You; I Just Can't Tell You, saya akan berusaha untuk tak sekadar memberikan hiburan, tapi juga sesuatu yang membekas saat novel ditutup.

Jika kamu bertanya, apakah naskah saya selalu bertokoh remaja? Tidak juga. Ya, remaja selalu jadi tokoh utama. Namun, untuk menghindari kebosanan, saya juga akan menggabungkan kehidupan SMA dan perkuliahan dalam satu novel--menyesuaikan novel yang ditulis. 
 
Dan, senang rasanya ketika mengetahui ada seorang kakak yang membaca novel I Love You; I Just Can't Tell You, dan berkata langsung kepada saya, "Saya bisa memberikan buku ini kepada adik saya."
 
Saya semakin yakin dengan pilihan ini. Suatu waktu, ini bisa jadi berubah, tapi alasan yang saya mendasari semua ini tak akan berubah, insya Allah.

So,
 
hi, you,
 
yes, you who is currently reading this word,
 
saya memang bukan siapa-siapamu, but I feel the responsibility, and I want to save you...
 
to save me in afterlife.

***
 
"In your life, you'll do things greater than dating a boy on a football team,
 
but I didn't know it at fifteen."
 
***
 
-- alvi syahrin
 

 
 
Halo, teman-teman.
 
Beberapa di antara kalian yang sering mengikuti blog ini pasti menyadari: ada sesuatu yang berbeda di sini.
 
Yup.
 
1. Domain Baru. Akhirnya, saya punya domain beratasnamakan Alvi Syahrin sekarang! Alhamdulillah. Sejak tahun lalu, hal ini sudah terpikirkan. Namun, karena menimbang banyak hal, saya baru bisa memutuskannya tahun ini--saat novel ketiga saya akan segera terbit. (Yes! Novel ketiga akan segera terbit, postingannya segera!)
 
2. Template Baru. Template sebelumnya adalah salah satu template terbaik yang pernah saya gunakan. Akan tetapi, klise, saya sudah bosan dengan template tersebut. Saya butuh sebuah penyegar. Mencari template baru sungguh tak mudah. Antarmuka yang minimalis sekaligus atraktif adalah segalanya bagi saya. Dalam proses pencarian, saya langsung jatuh hati dengan template yang satu ini. Memang, sejak beberapa bulan (atau tahun?) terakhir, ada beberapa template bergaya linimasa seperti ini. Namun, yang paling menarik, ya, cuma ini.
 
3. Saya juga merapikan menu utama di blog ini. Cukup klik tombol yang berbentuk seperti to-do-list untuk melihatnya. 
 
***
 
Lalu, adakah yang baru dalam hidup saya?
 
I'd say... yes! Bertemu teman-teman baru, cerita baru, naskah novel baru yang harus segera dituntaskan, ide-ide naskah yang sudah tak sabar untuk ditulis, pekerjaan baru yang berhubungan dengan proyek masa depan hidup saya, so many good things around, Alhamdulillah!
 
Ah, bahkan, dalam hari-hari terburuk pun, selalu banyak hal-hal baik yang menghampiri: kesehatan 24 jam, perlindungan dalam perjalanan, senyuman dari seseorang asing, obrolan singkat dengan teman lama, dan Allah yang tak pernah lupa.
 
Sampai jumpa di postingan berikutnya.
 
-Alvi Syahrin-



Tadi, secara tiba-tiba, sepupu tanya, "Do you have anyone who wants to sacrifice for you?"


"Anyone" yang dia maksud adalah teman.


Sempat terdiam lama. Berpikir panjang. Dan, ketika jawaban ditemukan, rasanya susah sekali untuk dilontarkan... because it was a no. "I don't think I have one," jawab saya, khawatir.

But I do have friends. Good friends. And I'm so glad to find them. They help me a lot, all the time, however, saying that they can "sacrifice" for me like his theory is too far. (I never forget their kindness, though.)

In my opinion, sacrificing is a really big thing.

Lalu, dia mengingatkan kepada saya bahwa betapa saya butuh those (or, at least, one) who want to sacrifice for me because he sees me, like, alone. Like, I don't have any relation.

But I do.

I just don't really share those kind of things to people.

But he still thinks that I need someone who can sacrifice for me due to something that I can't share here, "Because you can't depend on your parents, they don't last forever," tambahnya.

Yes, I see. Saya mengangguk. Dalam hati bergumam, "But we also can't depend on our friends who can sacrifice for us. They are just people. They don't last forever, as well."

Truth to be told, in my life, I rarely ask for a help. Bahkan kepada orangtua (we have good relationship, though). Semampu saya, saya selalu berusaha mengerjakan segalanya sendiri. Jikalau pun butuh bantuan, saya berusaha untuk tidak terlalu merepotkan mereka karena saya selalu merasa sungkan untuk meminta tolong. Berlaku pada keluarga maupun teman.

Namun, pertanyaan sepupu saya membuat saya berpikir panjang sekali. Sedih juga melihat kenyataan saya tidak memiliki someone who wants to sacrifice itu. But I kept saying that I have family, and even though I have my own "life" at home, I can still share everything to them. Or can it be my wife, later? Or...

I don't know...

Pikiran saya berkelumit saat itu.

Out of the blue, it was like the very fresh air came into my lung.

Pemikiran-pemikiran yang membuat saya sedih itu hanya berlangsung beberapa menit, mereda, karena, kemudian, saya ingat: Saya punya Allah.


Allah yang mengatur segalanya.

Segala benda di langit, pergantian siang-malam, pergerakan planet-planet di orbitnya agar tidak saling bertabrakan, sistem dalam tubuh manusia yang kompleks--itu semua Allah yang atur. (Tidak mungkin, kan, benda-benda langit itu bekerja sendiri. Bahkan mesin canggih di dunia ini pun butuh pencipta; manusia. Dan, menyalakannya pun, butuh manusia untuk menekan tombol on. Masa hal rumit seperti yang disebutkan tadi dapat bekerja sendiri.)

Pun manusia.

Manusia milik Allah.

Tentang apa yang akan terjadi, kita bahkan tidak tahu.

Tentang siapa yang akan menolongmu, whether it's a small thing or a big thing, itu kehendak Allah.

Relying on people won't help anything. However, being nice to everyone is a must. Having friends is also a must because we can't live alone. The thing is: kita nggak bisa mengharapkan/bergantung pada manusia yang nyatanya sacrifice for us. They don't last forever, too.

Kita hanya bisa bergantung kepada Allah. Cukup bergantung kepada Allah, dan tinggal menunggu bagaimana Allah membantu kita. Manusia adalah sarana, but we need to say thanks sincerely and stay nice juga.

Jadi, saya setir prinsip saya: it's not looking for people, it's about keeping those as your friends and being nice to everyone, tidak mengharap kembalian yang setara. Masalah bergantung hanya kepada Allah.

Perbicangan belum benar-benar berakhir antara saya dan sepupu.

Kami naik tangga. Saat saya hendak masuk kamar, dia bilang, "You need to give no matter how small it is, so you can receive." What goes around comes around, begitu maksud dia, itu intinya dia sedari tadi.

Oh. Okay. He said "sacrifice" like it was a big thing...
Saya bilang, "Kalau gitu, then I did. I do. But, still, thank you for telling me this."

Saya sungguh-sungguh berterima kasih karena bila dia tidak bertanya demikian, saya tidak akan berpikiran sejauh ini.
Dia duduk di ruang tengah, bersiap nonton Running Man. 

Saya masuk ke kamar, menutup pintu dan tersenyum. Dalam hati bersyukur, "Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah, sudah mengingatkan hamba mengenai ini."
Saya tidak perlu sedih dan takut lagi.

Lalu, saya berkata kepada diri sendiri, "Yang harus saya lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi hamba yang sacrifice kepada Allah."


*kemudian teringat betapa banyak hal yang perlu diperbaiki lagi dalam diri ini*

-Alvi-

sumber gambar: devianart.com


Selama ini, saya takut menceritakan dan membagikan mimpi-mimpi yang saya idamkan di media sosial.

 
Semuanya selalu saya sembunyikan, saya tutup-tutup rapat, dan, rencananya, akan saya bagikan ketika sudah sukses saja nanti. Hal-hal semacam ini hanya saya bagikan kepada beberapa orang terdekat, sekaligus meminta doa dari mereka.

Karena saya khawatir... bagaimana bila saya sudah bercerita panjang lebar tentang mimpi saya dan betapa optimisnya saya, namun, ujung-ujungnya, saya gagal?

Saya khawatir.

Dan, malu.

Baru-baru ini, saya punya mimpi yang sungguh-sungguh saya perjuangkan. Saking benar-benar menomorsatukan mimpi ini, saya berusaha sebaik-baiknya, sampai-sampai saya berpikir, "Kalau nggak berhasil, harus ngapain lagi?"

Kenyataannya, saya nggak berhasil.

Tetapi, nggak apa-apa. :)

Saya selalu percaya Allah punya jalan yang lebih baik, dan saya sudah menemukannya. :)

Jadi, saya bermimpi untuk melanjutkan studi saya di luar negeri lewat jalur beasiswa. Merit-based scholarship. Yes, I know how hard it is, tapi kunci saya adalah Allah. Saya percaya bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Saya perbanyak memanjatkan doa jelang pengumuman. Meminta doa dari Ayah dan Ibu.

Sampai hari pengumuman...

... saya tidak diterima.

Saya sempat simpan kabar ini beberapa hari karena khawatir, takut, malu.

Beberapa hari kemudian, saya cerita ke orangtua. Lalu, sudah. Though I've been told to face something I never want to face anymore because that's not me, I've tried that before, and I didn't like it for some reasons.

Sekarang saya mencoba beasiswa lain. Meminta doa yang sama. Dan, sampai ini ditulis, saya belum mendengar pengumumannya. Jujur, karena masalah teknis, saya agak ragu apakah saya akan diterima. Tetapi, tetap, saya percaya kepada Allah. Bagi Allah, tidak ada yang tidak mungkin.

Namun...

Ada yang berubah dari saya semenjak kegagalan itu. Tidak, saya bukannya lebih murung, bukannya lebih sedih atau sering mengeluh. Tidak. Saya tetap berpikir positif.

Namun, ada yang berubah.

I feel like I am not good as I was yesterday. Before the announcement.

Dan, ini bikin saya sedih.

Setiap hari saya merenungi ini. Saya tahu itu salah. Tetapi, nggak pernah berefek. :(

Maka dari itu, saya menuliskan ini.

Untuk diri saya sendiri. Berharap renungan ini berefek.

Sebenarnya, tujuan saya di dunia ini apa sih? Cuma untuk beasiswa dan karir yang "aman" di masa depan? Berkali-kali, saya harus ingatkan diri, harus tekankan ke dalam pikiran: bukan dunia yang harus saya cari, tapi akhirat. Di dunia ini, saya memang harus berusaha untuk keberlangsungan hidup saya. Namun, akhirat tetaplah lebih penting. Pengalaman belajar di luar negeri, uang yang didapat di kemudian hari--itu semua tidak dibawa ketika mati. Bahkan, sebelum mati pun, tak ada yang bisa menjamin kekayaan kita. Hari ini, mungkin kita punya miliaran, tapi siapa yang bisa menjamin uang itu bisa bertahan di hari esok, lusa, bulan depan, tahun depan?

Percuma mengejar dunia.

Saya harus menyetir hati ini supaya lebih akhirat-oriented. Tetap berusaha menjadi hamba Allah yang tetap kuat imannya, tetap bersemangat dalam menjalankan perintahnya.

Tetapi, karena kegagalan ini, saya nggak boleh berhenti mencoba di dunia ini. Saya hanya nggak boleh kebablasan dalam mengejar dunia. Saya harus terus berusaha, dengan akhirat menjadi nomor satu di hati.

Saya selalu ikhlas dengan keputusan Allah. Saya percaya Allah pasti kasih yang terbaik.

Saya masih ingat ketika baca email penolakan, saya tersenyum, mengangguk, dan percaya Allah punya sesuatu yang jauh lebih baik.

Saya juga nggak boleh lupa ini: nggak semua balasan itu dikasih di dunia ini, masih ada akhirat.

Saya juga harus mengorek-ngorek lagi... kesalahan apa yang masih sering saya lakukan, dan berusaha untuk memperbaikinya.

Pada akhirnya, tujuan hidup ini adalah untuk kembali lagi. Ini tentang bagaimana caranya saya kembali dengan baik.

Dan, tentang mimpi-mimpi yang belum tercapai..., saya tidak akan menyerah. Malah, kegagalan ini membuat saya menemukan mimpi-mimpi baru untuk dikejar:

1. Menciptakan pekerjaan baru. Yes, I don't apply for a job, but I create one. Dulu pernah, sih, walau gagal--dan, sudah tahu kenapa gagalnya, and I won't do the same mistakes anymore. Beberapa bulan ini, saya belajar banyak tentang internet marketing serta hal-hal teknikalnya dan mendapati bahwa ini cocok buat saya. Tipikal pekerjaan yang saya nyaman kerjakan. Berhubungan dengan tulis-menulis juga. Buat kamu yang sedang mengejar beasiswa atau suka traveling, ditunggu ya! Saat ini sedang mempersiapkan websitenya. Yang beasiswa dulu yang dikerjakan (because I met a lot of cool people who are admitted to one of the best universities by scholarship). Kalau pengin ikutan, please let me know. :D

Rencananya, ingin selalu share tentang ini di sini, sih. Biar semangat.

Mengenai penghasilan, itu bakal datang setara dengan usaha kita--jadi, nggak perlu takut. Baca-baca pengalaman mereka yang melakukan ini juga sepertinya sangat menjanjikan--karena mereka sungguh-sungguh.

Pada akhirnya, Allah sudah atur semuanya. Sama sekali nggak boleh meragukan Allah. Harus tetap percaya. :)

Dan, akhirat tetap harus nomor satu.

2. [TETAP] Lanjut studi master di luar negeri lewat scholarship. Masih ingin Saudi Arabia. Tetapi, kali ini, ingin mencoba peluang lain dan berdoa kepada Allah agar mendapat tempat yang terbaik; yang membuat saya bisa mudah menemukan makanan halal, menemukan masjid, pengajian rutin yang berlandaskan Al-Quran dan Hadist. Allah tahu tempat yang terbaik. Allah pemilik dunia ini.

3. WRITING NEW NOVELS! Ini nih yang harus saya syukuri. Betapa Allah sudah memberikan saya kemampuan untuk menulis dengan baik, kok saya seolah menelantarkannya? Saya nggak boleh menyia-nyiakan ini. Saya akan tetap terus menulis. Dan, saya juga sudah menemukan "sesuatu" yang, insya Allah, dapat membedakan karya saya dengan karya penulis lain. It's gonna be different from my previous novels.

Dan, meskipun saya belum dapat beasiswa itu, saya dapat hal-hal menyenangkan:

1. Skor TOEFL yang sudah mencapai batas requirement untuk mendaftar di sebagian besar scholarship di seluruh dunia, insya Allah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.

2. Saya menemukan ide untuk menciptakan pekerjaan baru, seperti yang saya sudah tulis di atas di nomor satu. Lumayan kan untuk ditulis di CV, hehe. Alhamdulillah. Ini semua terjadi karena kehendak Allah.

3. Volunteerly teaching English at Rumah Bahasa Surabaya. Ketemu teman-teman baru, pengalaman baru, senang banget! Alhamdulillah.

4. Kesehatan, umur panjang, perlindungan, dan banyak lagi. Alhamdulillah.

***

Setelah menulis ini, rasanya lebih lega.

Hari ini, mungkin saya menulis tentang daftar mimpi saya.

Beberapa hari kemudian, atau berbulan-bulan ke depannya..., itu bisa jadi akan tercapai. Dan, postingan ini akan menjadi semacam kenangan yang saya senang untuk baca ulang.

***

Dear Alvi, please change to be a better person. Besok harus bisa mengejar target "itu", ya!

***

=Alvi=
Embassy English Centre, Surabaya: small, cozy, superb design.
I am taking an English course. Again. At Embassy English Centre, Surabaya.

Everything was started when I had this dream—I have this dream. This is not a new dream: it has been on my mind, so long, but it seems so far, out of reach, I do not think I can make it. Even so, out of blue, I decided, "I am going to make it happen."

First of all, this dream requires me to have strong ability in English. The score of TOEFL has been set and I have to pass it.
Do I?
Nope. Not yet.
The last time I took a TOEFL Paper-Based-Test test I got only 510 of 677 (approximately 63 of 120 for internet-Based-Test). Not really bad, still it is under the requirement.
It was two months ago, by the way.
See, I need twenty two years to hit that score and only in few months I have to increase it like 40 or 60 points for PBT (or 20 for iBT). Besides, TOEFL iBT is expensive, it will be such a waste if I do not pass it.
To me, inshaa Allah, there is nothing impossible. I will make it. I can make it. Everything will be beautiful in time as long as I pray hard and work hard.
So, I came up with this idea: how if I take an English course again?
I asked my family's advice and they supported me. So, yes, I finally registered.
And... I do not regret even an inch of me. I love the class, the room, the learning process. I love speaking English, but I have never been so confident, and in this class I can speak like a native though I know I am not! At all!
I am currently on Foundation class which helps me the basic of writing. It requires twelve meetings before the TOEFL preparation class. I have been on eighth meeting--it is an intensive class.
In order to pursue this dream, I also learn my third language: Arabic.
Since long time ago I want to be able to speak Arabic. However, to be honest, the feeling is not that "big", I could not feel the urge even though I know I have to.
How does it feel to learn new language?
It feels great and exciting! When I attended the first class, I thought about learning other languages again because this is addicting. Then, I thought about Spain and Japan.
Okay, put them aside first owing to the desire of being master in English and Arabic.
And, what is really weird about learning language: while I learn my second languange, English, I think a lot in my native language, Indonesian; while I learn my third language, Arabic, I think a lot in my second language.. Confusing, no; complicated, yes.
Back to the title, what is the dream I am pursuing right now?
I am not going to tell. :P


*pic credit: Embassy English Centre, Surabaya.