Showing posts with label I Love You; I Just Can't Tell You. Show all posts
Showing posts with label I Love You; I Just Can't Tell You. Show all posts
Memulai halaman pertama dari sebuah novel tak pernah mudah. Jangankan halaman pertama, kalimat pertama pun berujung pada ketik-hapus-ketik-hapus-dan-siklus-ini-takkan-pernah-berakhir. Meninggalkan pointer-mu dalam keadaan kedap-kedip membuatmu semakin bingung.

"Apa yang harus kutulis?"

Ketika menulis novel I Love You; I Just Can't Tell You, beruntungnya, atas kehendak Allah, saya menemukan kalimat pertama secara langsung. Tahu-tahu, kumpulan kata itu muncul begitu saja dalam kepala, seolah sang karakter membisikkan kepada saya,




Namun, tentu, sebelum kalimat pertama itu muncul, ada beberapa hal yang saya lakukan untuk "memancingnya". Selain membuat outline dan biodata tokoh agar semakin mengenali tokoh-tokohnya, saya juga mengambil setiap novel yang ada di rak buku, membaca kalimat-kalimat pertamanya, mempelajari bagaimana para penulis memulai kisah mereka. (Sesungguhnya, sampai hari ini, saya selalu menggunakan cara tersebut bila tak kunjung menemukan kalimat pertama di permulaan bab, and it works!).

Oh, lalu, ada satu hal yang perlu kau ingat... Saat ini, sudah bukan masanya lagi membuka novel dengan adegan semacam: terlambat bangun pagi, buru-buru ke sekolah, and all the things you can imagine. Juga, sudah bukan jamannya lagi mengawali sebuah kisah dengan deskripsi cahaya matahari yang bla bla bla, cicitan burung yang bla bla bla. Bagaimana untuk menghindari ini? Ya, hindarilah. Sesederhana itu. Dan, yang terpenting, kau harus banyak, banyak membaca agar tulisanmu tidak akan out of style. Perbanyak pula membaca buku-buku terbitan terbaru untuk merasakan "the current"--kekiniannya. Bukan berarti kau harus mengikutinya, ya, kau hanya perlu tahu, dan itu penting.

***

Oke, sekarang, mungkin kamu sudah menemukan kalimat pertama setelah banyak membaca kalimat pertama dari novel-novel di rak bukumu. Namun, melanjutkannya... kok tetap tidak mudah?

Sebenarnya, ketika kau sudah menemukan kalimat pertama, segalanya akan berjalan lebih lancar, lebih mulus. Beberapa penulis berpendapat, teruslah menulis, meskipun itu jelek, akan ada waktu untuk mengedit nanti. Jadi, apa yang ada di kepalamu saat ini, tuliskan saja apa adanya dulu. Meskipun ini kalimat pertama, meskipun ini halaman pertama, ini bukanlah draf final.

***

Masih kesulitan juga?

Well. Ini bagian yang paling menyenangkan. Kadang, ketika kita hendak menulis, semua kalimat, semua adegan, bercampur aduk di dalam kepala. Otak kita berpikir lebih cepat dari tangan kita yang sedang mengetik.

Ini... mungkin membantu.

Ketika hendak menulis bab pertama I Love You; I Just Can't Tell You, di dalam kepala saya, saya berusaha mengorganisir kembali pikiran saya, menyederhanakan kembali tentang apa saja yang akan terjadi. Saya buat alur di dalam kepala:

- Daisy pulang dengan buru-buru karena ingin ketemu "dia".
- Daisy, secara diam-diam, mengekori "dia" menuju kampus. Padahal Daisy cuma anak SMA.
- Daisy, secara berani, ikut masuk ke dalam kelas "dia", di kampus. Padahal dia jelas anak kuliahan, sudah semester akhir, dan Daisy telah mengambil sebuah risiko.
- Dan, risiko itu terjadi: ketika sang dosen meminta mereka untuk membentuk kelompok, "dia" memilih Daisy, dan "dia" tak tahu bahwa Daisy cuma murid selundupan, cuma murid SMA yang tak tahu apa-apa.
- Namun, itu... yang membuat mereka nantinya menjadi dekat.

Setelah itu, saya menyegarkan pikiran dengan mencari gambar-gambar yang berhubungan dengan alur di atas, juga yang berhubungan dengan tokohnya sekadar untuk menambah feel.

Ini yang saya temukan...


Sebenarnya, gambar ini hanya untuk mendapatkan feel "mungil"nya Daisy. Walaupun dia tak semungil ini, kok.

Menma - Ini bukan Daisy. Saya menemukan gambar ini (dan mengenal tokoh di atas ini) setelah selesai menuliskan I Love You; I Just Can't Tell You. Namun, ketika saya melihat tokoh ini, Menma, saya langsung berpikir, "Wah, ini Daisy banget!!!" Namun, saat kau membacanya nanti, kau pasti memiliki Daisy versimu sendiri.


Terlepas Daisy yang tidak tumbuh secara fisik di usianya yang ke-enambelas, Daisy tetap merupakan tokoh yang ceria. She's not a girl who cries all night long thinking, "WHY ME?"



Namun, bila kau menjadi Daisy, tak tumbuh karena masalah hormon, kau pasti, setidaknya sekali, merenung tentang masa depanmu. Apakah seterusnya kau akan seperti ini? Seperti anak kecil? Teman-temanmu tumbuh, tapi kau tidak. Seperti dunia terus berjalan, sementara bagimu dunia selalu dalam mode pause.



Lalu, itu membuatmu berpikir... dengan tubuh seperti ini, akankah ada yang menerimamu?

Karena, tepat saat itu, kau sedang jatuh cinta. Dan, kau tak ingin menyerah. Karena, bagi Daisy, laki-laki ini lebih dewasa dari teman-teman sekelasnya. Tentu, tak akan berpikiran dangkal, bukan? Maka dari itu, dia mencoba. Menggebu-gebu.
Daisy senang, khawatir, cemas, salah tingkah saat usahanya mulai menunjukkan jalan.

Saat "dia" menatap kedua matanya, di depan kelas, dan menanyakan tentang... (nggak mau spoiler, ah)
Dalam kepala, deretan gambar ini akan membentuk kalimat, kalimat, dan kalimat... dan membuat halaman pertamamu akhirnya terisi! :)
***

Hal lain yang perlu kau ketahui tentang halaman pertama ialah ia begitu penting. Di dapur redaksi, halaman pertama menentukan segalanya. Jika menarik, maka peluang untuk terus dibaca semakin besar. Jika tidak..., hmm, mungkin naskahmu hanya dibaca hingga halaman sekian saja. Namun, tak semua anggota redaksi menghakimi naskahmu dari halaman pertama. Tentunya, mereka yang lebih ahli akan mempelajari dan menilai naskahmu dari berbagai sisi.
Namun, halaman pertama tetaplah krusial. Beberapa pembaca akan menentukan, "Apakah aku harus beli buku ini atau tidak, ya?" dari halaman pertamamu.
Lantas, bagaimana membuat halaman pertama yang menarik?
Tarulah konflik di sana. Konflik tak berarti pertengkaran atau drama, ya. Konflik juga tak melulu sesuatu yang "besar". Konflik adalah sesuatu yang mendesakkan tokohmu, yang membuat pembaca berpikir, "Wah, apalagi nih yang terjadi di halaman perikutnya?"
Seperti yang dialami Daisy... dia masuk ke ruang kelas seorang mahasiswa, padahal dia hanya gadis SMA, dan terperangkap dalam kelompok tugas mahasiswa...
Apa yang terjadi pada dirinya... di halaman berikutnya?
Dan, aku tersadar kalau baru saja melakukan kesalahan fatal.
***
Terima kasih telah membaca episode kedua dari Behind the Scene I Love You; I Just Can't Tell You ini! (Klik --> ini <-- episode="" membaca="" pertama.="" untuk--="" untuk="">
Pada episode ketiga, saya akan berbagi tentang... kata orang-orang, kita harus menulis kisah yang berbeda, apakah itu benar? Dan, hal ini selalu membuat kita maju-mundur. Duh, kisahku klise nggak, ya? Pada episode berikutnya, saya juga akan mengisahkan tentang para tokoh-tokoh di novel I Love You; I Just Can't Tell You. Insya Allah, akan diposting pada tanggal 9 Agustus 2015. Dua hari lagi, jika segalanya lancar, insya Allah.
***
Sekarang, di kepalamu, kalimat pertama apa yang sedang muncul di sana?  :)
 
Usiaku enam belas tahun, kelas sepuluh, dan belum dewasa...
 
Sejak dulu, saya selalu suka membaca kisah di balik penulisan sebuah novel; tentang apa yang dilakukan para penulis tersebut hingga tulisan mereka rampung, tentang naik-turun dalam menulis; tentang rasa tidak percaya diri di tengah-tengah menulis--setiap prosesnya saya penasaran, dan itu selalu menjadi bagian yang menarik. Jadi, saya berpikir, mengapa saya tidak membagikan behind the scene penulisan novel I Love You; I Just Can't Tell You. Mungkin, di luar sana, ada seseorang yang pernah bertanya seperti saya dulu, "Gimana ya behind the scene sebuah penulisan novel?"
 
So, here it is. Saya akan membagikannya secara berangsur. Akan ada sepuluh episode dalam behind the scene ini, menyesuaikan banyaknya bab di novel I Love You; I Just Can't Tell You.
 
Selamat datang di episode pertama.
 
***

Sejak penulisan Dilema dan Swiss, saya selalu menyiapkan biodata tokoh dan outline sebelum menulis novel

Biodata tokoh saya gunakan untuk semakin mengenal karakter dalam novel; agar saya bisa merasa mereka di setiap apa yang mereka alami; agar saya bisa berpikir layaknya mereka. Biodata tokoh tak seputar nama, usia, dan hobi. Pun tak sekadar ciri fisiknya. Melainkan juga karakteristik mereka yang ditulis secara detail. Ini, ditulis semata-mata hanya untuk menguatkan karakter mereka. Kadang-kadang, saya juga mengumpulkan foto-foto karakter anime untuk memudahkan saya membayangkan tokohnya.
 
Sementara itu, outline dibuat untuk menghindari kemacetan ide di tengah jalan. We all have been there: Sudah menulis hingga halaman sekian, tapi tiba-tiba merasa stuck, halaman kosong berhari-hari, ide seolah menumpul. Outline a.k.a kerangka karangan sangat membantu untuk mencegah ini. Saya selalu menyiapkan outline hingga ia benar-benar matang; dari bab satu hingga akhir--supaya saya tak perlu melakukan editing mayor saat cerita telah ditulis secara keseluruhan.
 
Begitu pula dalam I Love You; I Just Can't Tell You. Saya telah melakukan dua hal tersebut, namun saya berpikir...

Harus ada sesuatu baru yang perlu saya lakukan; yang belum saya tulis dan temukan di novel-novel sebelumnya

Setiap kali hendak memulai menulis novel baru, termasuk I Love You; I Just Can't Tell You ini, saya mengumpulkan buku-buku yang setipe dengan kisah ini. Mengeksplorasi bacaan sebanyak-banyaknya, berusaha mencari sesuatu yang baru. Novel lokal, novel terjemahan, bahkan mencoba membaca novel berbahasa Inggris (unexpectedly, itu mempengaruhi gaya menulis saya dalam bahasa Indonesia, in a good way.). Namun, tetap, saya belum menemukan sesuatu yang baru itu. Okelah, saya telah mendapat karakter Daisy yang unik; gadis tujuh belas tahun yang tak tumbuh sebagaimana remaja lain; belum mengalami pubertas. (Dia adalah gadis yang kau lihat di kaver I Love You; I Just Can't Tell You).
 
Novel Remaja Sedih tentang Cinta Pertama
Yes, that's Daisy!
 
Saya menemukan kisah gadis SMA yang jatuh cinta pada anak kuliahan, dan masuk ke dalam kehidupan mereka yang belum pernah saya temui dalam novel-novel yang saya baca. Saya telah memutuskan untuk menggunakan sudut pandang pertama karena selama ini saya hanya menggunakan sudut pandang ketiga. Saya pun telah menentukan sudut pandang pertama ini akan ditulis dari tiga tokoh sekaligus; Daisy, Alan, Ve.
 
Namun, ini hanyalah sesuatu baru secara teknis.
 
Saya mencoba eksplorasi lagi. Kali ini, saya mencoba membeli beberapa manga yang banyak digemari perempuan, mencoba mencari tahu, "Apa sih yang membuat orang-orang menyukainya?" Saya juga mencoba menonton beberapa drama Jepang dan anime. Meski tak seluruhnya menjadi favorit, meski manga yang saya baca hanya begitu-begitu saja--saya menemukan suatu hal yang tidak saya temukan dari seluruh novel yang pernah saya baca: ketulusan.
 
Entah kenapa, ketika membaca atau menonton sebuah karya dari Jepang, seklise apa pun kisahnya, selalu ada ketulusan di sana. Ketulusan yang menghangatkan hati. Yang tiba dengan tepat di hati penonton drama/anime atau pembaca mang. Dan, di situlah saya tahu apa yang saya cari dalam tulisan: saya butuh ketulusan.

Namun, ketulusan dalam menulis novel bukan sekadar perasaan suka menulis

Orang-orang menulis karena mereka suka menulis. Well, some of them, begitu. Ketika menulis naskah Dilema dan Swiss, saya pun menyukainya, saya merasakan tokoh-tokohnya. Namun, ketika saya menemukan "ketulusan" ini, saya mendapati bahwa itu bukan sekadar ketulusan karena kau menyukai menulis. Namun, ketulusan yang dimaksud adalah... mengapa kau mengangkat kisah ini? Untuk apa? Untuk siapa?
 
Apa alasanmu sesungguhnya?
 
Apakah sekadar rasa suka dengan kisahnya? Well, ini normal. Kau harus menyukai ceritamu, dan ini selalu menjadi persyaratan saya dalam memulai sebuah naskah.
 
Namun, apakah hanya karena itu?
 
Apakah sekadar ingin menunjukkan bahwa kau bisa menulis sesuatu yang berbeda? Ini juga normal. Semua penulis perlu berkembang. Namun, apakah hanya sebatas itu? Sebatas kata-kata yang lebih indah? Sebatas kisah yang lebih menjanjikan?
 
FYI, sejak itu, saya juga sedang mengalami perubahan pola pikir--yang membuat saya berpikir lebih dalam, lebih mendetail. Dan, pola pikir itu membawa saya pada sebuah keputusan: saya ingin menulis sesuatu yang lebih bermanfaat. Saya selalu tertarik dengan dunia remaja. Maka, saya ingin menulis sesuatu yang berarti untuk mereka. I care for them. Dan, I Love You; I Just Can't Tell You adalah awal dari segalanya.

Saya tak mau sekadar menulis novel romance yang sebatas laki-laki dan perempuan, bertemu, jatuh cinta, konflik, baikan, jadian, happy ending

Saya ingin sesuatu yang lebih dari itu, sesuatu yang ketika pembaca menutup bukunya mereka akan tersenyum, hangat hatinya, dan bergumam, "Oh, iya, ya.". Saya ingin sesuatu yang berkesan di hati. Ketika niat ini telah kokoh, atas kehendak Allah, sebuah adegan muncul dalam kepala saya. Adegan itu telah tertulis di halaman 234-236. Di sana, saya jadi sadar bahwa kisah cinta tak melulu seperti bertemu-konflik-jadian-happilyeverafter, kok.
 
***
 
Saya teringat sebuah drama Jepang, tentang seorang gadis yang menjadi pilot. Saat dia melihat pesawat terbang, dia menatap langit dan berkata kepada temannya, "Aku ingin menjadi pilot!" Dia mengutarakannya sungguh-sungguh, dengan tatapan yang teguh, dengan usaha yang nyata.
 
Di saat itu, saya berpikir, "Kita harus berani memperjuangkan mimpi kita. Lihat, dia adalah seorang gadis muda, tapi berani memutuskan menjadi pilot." Seperti menulis. Jika kau ingin menjadi penulis, menulislah, berjuanglah, jangan takut.
 
Namun, tiba-tiba, teman dari gadis itu berkata, "Kau ingin jadi pilot? Jangan berkata semudah itu. Saat kau menjadi pilot, itu bukan sekadar kau duduk di kokpit dan mengendalikan pesawat. Menjadi pilot tidak sedangkal itu. Saat menjadi pilot, kau menanggung nyawa ratusan orang yang ada di belakangmu. Apakah kau siap? Apakah kau sungguh-sungguh?"
 
And that words strike me. Sebagaimana menulis, ini bukan sekadar saya duduk di depan komputer, menuliskan kisah remaja favorit saya. Namun, di depan saya, ada pembaca-pembaca remaja, yang sebagaimana penumpang pesawat, yang harus saya "lindungi". Betapa kita merutuki acara televisi yang merusak dengan dalih melindungi remaja. Itu, berlaku pula dalam menulis novel. Setidaknya, untuk saya.
 
Namun, perlu dipahami bahwa tiap orang memiliki definisi ketulusan yang berbeda. Jangan merasa milikmu adalah yang terbaik. Ketulusan adalah sesuatu yang butuh dibenahi seumur hidupmu. Mudah-mudahan, kau menemukan ketulusan yang tepat.
 
***

Itulah bagaimana I Love You; I Just Can't Tell You lahir.

Inilah mengapa saya ingin membawamu pada kisah...
 
Daisy; gadis tujuh belas tahun yang tak pernah mengalami pubertas, tapi malah mengalami jatuh cinta untuk kali pertama. Alan; mahasiswa semester akhir yang tak banyak bicara, yang mungkin membuatmu ikut jatuh cinta. Dan, Ve; mahasiswi yang tertutup, yang membuatmu bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi padanya?"
 
Mereka memiliki kisah berbeda, tapi bersinggungan. (Dan, betapa sulit sekaligus menyenangkan mengatur kisah tiga tokoh dengan latar mereka agar saling menyatu dan mengisi. Butuh membongkar outline dan konsep beberapa kali.)
 
Namun, ini belum berakhir. Hanya karena saya sudah menemukan ketulusan dan konsep itu, bukan berarti menulis novel akan menjadi perjalanan yang mudah.

Bayangkan, saya sudah mendapatkan konsep yang pasti, outline yang utuh, karakter yang telah saya kenali luar dalam. Namun, memulai kata pertama, halaman pertama, itu tak pernah mudah.
 
Kau tahu rasanya.
 
Maka, salah satu solusi yang saya lakukan dalam menulis halaman pertama adalah...
 
Bersambung...
 
***
 
Tentang bagaimana saya menulis halaman-halaman awal I Love You; I Just Can't Tell You dan cara menulis halaman pertama (yang memikat) akan saya kisahkan pada behind the scene Episode 2. Will post it here on August 7th, 2015. Stay tuned, ya!
 
Di episode-episode berikutnya, saya juga akan menceritakan kisah saat saya mengalami stuck dan krisis percaya diri, saat buku ini telah berada di dapur redaksi; penentuan judul, proses pembuatan kaver, dan lain-lain yang berhubungan dengan pra-cetak di penerbit. 
 
***
 
Anyway, untuk kamu yang sedang menulis novel, mengapa kamu sungguh-sungguh ingin menulis novel? :)
Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
1


Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
2
Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
3
 
4
Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
5


6


Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
7

Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
8

Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
9
Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
10
 
Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
11

Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
12

Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
13


Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
14

Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
15

Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
16

Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
17


Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
18


Cerita yang ditulis Daisy Yazawa berhenti sementara di sini, karena...

... halaman berikutnya akan dilanjutkan oleh...


Alvi Syahrin I Love You I Just Can't Tell You
19
 
Jika kamu sudah membaca Dilema dan Swiss, kamu pasti merasakan sesuatu berbeda dari cuplikan di atas. Gaya menulisnya, ya? Sebagaimana kata orang-orang, people change, so do writers. Penulis senantiasa berkembang seiring waktu dan bacaannya. Saya tidak tahu apakah ini sebuah perkembangan. Yang jelas, saya tak mau berhenti pada satu gaya. Saya ingin selalu bereksplorasi dalam tulisan saya, bercerita melalui tokoh-tokoh yang berbeda, menggunakan gaya menulis yang menyesuaikan gaya sang tokoh--alih-alih gaya sang penulis. Karena, begitulah saya belajar menulis--dan memahaminya.
 
Omong-omong, menurutmu, apa sih yang akan terjadi setelah kejadian "fatal" di atas? Share your opinion, I'd love to know!
 
Dan, jika kamu ingin segera membaca kelanjutannya, I Love You; I Just Can't Tell You akan segera singgah di Gramedia, Toko Gunung Agung, dan toko buku terdekat lainnya! Atau, jika kamu ingin jadi pemilik pertama buku ini (beserta tandatangan dan diskon), lihat gambar ini...

 

atau...

Novel Love Cycle Gagas Media


Atau, jika kamu ingin melengkapi seri Love Cycle lengkap dengan diskon dan TTD penulisnya, kunjungi republikfiksi.com.



Kabar-kabar juga jika kamu sudah/akan memilikinya. :D

-- alvi syahrin
 
 
Penulis: Alvi Syahrin
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: viii + 276 hlm
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-805-X
Harga: Rp55.000,-
 
Ini kisah cinta pertama.

Cinta yang polos dan meragu,
menjebakmu dalam momen katakan-tidak-katakan-tidak, membuatmu bertanya,
“Apakah rasa ini akan sepadan dengan hasilnya?”

[Daisy]
Aku telah jatuh cinta. Untuk kali pertama.
Cinta yang membuat harapku terbang ke angkasa.
Namun...
Akankah dia menyadari hadirku kala aku sendiri ingin bersembunyi, dari tubuh remaja tujuh belas tahun yang tak tumbuh sebagaimana remaja lainnya?

[Alan]
Tidak semua laki-laki sama, yakinku.
Tetapi... Mengapa...
Semakin aku mencoba, semakin jalan terasa berselisih?

[Ve]
Aku sudah tahu betapa cinta hanya bisa menyisakan luka.
Luka dan rahasia.
Rahasia yang bahkan kepada sang penulis kusampaikan, “Tolong jangan beri tahu Alan dan Daisy. Juga pembacamu.”

Ini kisah cinta pertama...
yang membuat hati kecilmu selalu bertanya,
“Apakah cerita ini bisa membawa bahagia?”
 
***
 
Kisah di balik pembuatan blurb ini dan kaver akan saya ceritakan pada post-post berikutnya. Ditunggu, ya!
 
Oh, ya. Kamu sudah bisa memesan buku ini di toko buku online *(ada diskon!) seperti:
 
-Bukabuku.com:
 
- Republik Fiksi:
 
Untuk kamu yang menanti di toko buku seperti Gramedia atau Toko Gunung Agung, tunggu sebentar lagi, ya!
i love you; i just can't tell you alvi syahrin gagasmedia


Halo!

Alhamdulillah.

Akhirnya, novel ketiga saya akan segera terbit. Novel ini termasuk dalam seri Love Cycle milik GagasMedia. Love Cycle, sebagaimana namanya, adalah siklus cinta. Melalui seri ini, GagasMedia akan mengajakmu melewati siklus cinta: cinta pertama, PDKT, saling cinta, patah hati, move on, dan komitmen.

Tebak novel saya termasuk yang mana?

*drumroll*

*drumroll lagi*

Cinta pertama!

Karena ini adalah siklus pertama, maka akan terbit duluan.

Judulnya adalah "I Love You; I Just Can't Tell You".

Aku mencintaimu, tapi tak mampu mengatakannya.

Bukankah itu adalah suara hati dari mereka yang mengalami cinta pertama?

Mengingat telah banyak kisah cinta pertama yang ditulis, maka tugas saya adalah menjadikannya berbeda. Apa yang saya tulis di novel ini adalah sesuatu yang belum pernah saya temukan di novel lain. Dan, perjalanan menuliskan novel ini panjaaang sekali. Nanti saya akan cerita tentang Behind The Scene-nya, ya. Mungkin akan membantu teman-teman yang juga sedang menulis novel (dan bermimpi menerbitkannya).

Lalu...

Kavernya adalah yang telah kuunggah di atas. Saya suka sekali kavernya. Suka banget, banget. It's probably one of the cutest covers I've ever seen. Ilustrasi di kaver menggambarkan segalanya: tentang "I Love You" di ujung bibir, tapi tak dapat diutarakan, hanya mampu menatap cermin saat menyuarakannya. Lalu, warna-warna di sana, motif bunga-bunga, merupakan pertanda ada cinta yang bersemi. Cinta pertama. Itu, interpretasi saya.

Sekarang... blurbnya. Blurb adalah sinopsis di belakang kaver. Di Instagram saya (@AlviSyhrn), saya sudah mengunggah potongan-potongan blurb itu sejak Senin. Saya unggah ulang di sini, ya:


I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin


Baru saja, Mbak Iwied (Widyawati Oktavia, salah satu editor I Love You; I Just Can't Tell You sekaligus penulis siklus Move On) mengirimkan gambar ini:

I Love You I Just Can't Tell You GagasMedia Alvi Syahrin

Kabar baik lainnya: kamu sudah bisa memesan ini di toko buku online (ada diskonnya!), seperti...



Kalau kamu ingin mengoleksi novel-novel berseri Love Cycle, langsung ke Republik Fiksi saja: http://republikfiksi.com/bookinfo.php?bkid=JWAtLvv_NRacT2Oiy7usJ3OotYmHhKc2QCgAp0CrfnA

Memesan lewat Republik Fiksi akan menjadikan kamu orang-orang pertama yang membaca novel ini. Plus, ada tanda tangan dari para penulis juga.



Untuk toko buku seperti Gramedia atau Toko Gunung Agung, tunggu beberapa saat lagi, ya.

Btw, ada satu bocoran yang ingin saya bagikan. Setelah siklus cinta pertama, kan, PDKT... judulnya adalah "I Need You; I Just Can't Show You", dan ini kavernya:



Alhamdulillah, saya suka sekali kaver-kaver dari seri ini.

Sebelum post ini ditutup, saya punya pertanyaan kepada teman-teman:
1. Suka nggak kavernya? Dari kavernya, kira-kira cerita apa sih yang kamu dapatkan?
2. Dari potongan blurb itu, mana yang kamu paling penasaran? Dan, kenapa?

Terima kasih!

-Alvi Syahrin-