Berbicara tentang rumah tangga, saya selalu membayangkan roller coaster.
Kala roller coaster mulai berjalan, keraguan muncul hingga hatimu bergumam, "Apakah ini akan baik-baik saja?"
Saat roller coaster menukik menuju puncak, ketakutan datang hingga hatimu bertanya, "Apakah ini yang disebut menyesal?"
Kemudian roller coaster melandai dari puncak tertinggi dengan kecepatan tertinggi, membuatmu berteriak kencang, sekencang-kencangnya, menyesal, merutuki mengapa kau memilih semua ini, bertanya-tanya kembali tentang keputusan yang telah kau buat.
Namun, ketika roller coaster tersebut telah kembali pada jalur normalnya, kau tertawa dan berkata, "It's worth the fight."
Kau merasa tenang beberapa saat.
Lalu, wahana itu berputar lagi, mengulang rasa-rasa itu: meragu, takut, bahagia, lepas,
dan... tenang.
Saya percaya bahwa kehidupan rumah tangga tak akan selalu berjalan mulus--dan, kita semua setuju tentang itu. Akan ada highest point saat kau sungguh-sungguh bahagia dengan pilihanmu dan lowest point saat kau merasa ini berada di tepi jurang. Saya tidak takut, it's price you have to pay. Lagi pula, semua rumah tangga pasti mengalaminya.
Namun, saya penasaran tentang bagaimana caranya bertahan. Saya juga penasaran tentang detail-detail kecil, seperti, "Apa yang terjadi setelah proses ijab qabul antar kamu dan pasanganmu?", "Apa yang terjadi dan harus dilakukan saat pertengkaran pertama?", "Apa yang perlu kita lakukan agar pasangan kita selalu senang bersama kita?", "Bagaimana perasaan memiliki anak kedua? Bagaimana kita menjaga perasaan sang kakak?".
Banyak sekali.
Hingga suatu ketika, saya menemukan gambar ini di linimasa Facebook.
Sampul dan judulnya menarik hati saya. Sebuah gambar rumah sederhana, dengan asap. Itu, menjelaskan segala hal tentang rumah tangga.
Terlebih lagi, penulisnya adalah Fahd Pahdepie. Saya tak akan menjelaskan tentang beliau di sini karena kau dapat menemukannya di Wikipedia.
Hal yang terbaik tentang sampul buku itu: saya dapat membukanya dan membaca isinya.
Saya selalu mengagumi kisah-kisah sederhana, yang menyelipkan sebuah pesan baik, yang membuat saya berpikir dalam, merenung, lalu tersenyum, dan bergumam, "Ah, iya!"
Saya menemukan semua itu di buku ini, termasuk detail-detail kecil yang ingin saya sampaikan di atas tadi.
Saya akan memberi tahu kepada kalian, tujuh alasan mengapa saya menyukai buku ini...
dan, tujuh alasan yang bisa jadi membuatmu menyukai buku ini juga.
1. Rumah Tangga ditulis dengan gaya bahasa sederhana, namun menyihir.
Saya adalah tipikal pembaca yang lumayan terbuka dengan gaya menulis apa saja. Malah, itu sebuah kebutuhan. Ketika telah banyak membaca buku dengan kisah dan gaya bahasa ringan, saya akan memilih buku yang lebih berat baik dari kisah dan gaya penulisan. (Tentu, "ringan" dan "berat" versi saya).
Rumah Tangga is something in between. Pemilihan kata dan penyusunan kalimat-kalimatnya sangat membumi. Namun, di saat yang sama, kata-kata sederhananya itu membentuk sesuatu yang ajaib.
Ya, ajaib.
Saya bukan pembaca paling baik dalam berimajinasi. Namun, ada satu bagian dari buku ini yang membuat saya dapat menyaksikan langsung adegannya. Yakni, saat penulis bercerita masa kecilnya. Sang penulis berkata pada ayahnya bahwa dia ingin layang-layang.
Ayah menyetujui keinginannya. Namun, ayahnya bertanya kembali, "Kamu tahu bagaimana cara menerbangkan layang-layang?"
Sang penulis menggeleng.
Maka, ayahnya berkata bahwa beliau akan mengajarkan mencari angin, mengajaknya ke sawah untuk menerbangkan layang-layang bersama-sama, memegang benang bersama-sama, lalu, bersama-sama, melihat layang-layang itu terbang ke angkasa.
Setelah mereka lelah bermain layang-layang, ayahnya berkata,
"Fahd, mudah-mudahan ini sederhana, dan kamu akan selalu mengingatnya.
Kelak, jangan bercita-cita membeli rumah untuk istrimu, bercita-citalah untuk tinggal bersama dan hidup bahagia, selama-lamanya,
Jangan bercita-cita memiliki kendaraan mewah untuk anak-anakmu, berdoalah agar kalian bisa pergi bersama-sama, bertamasya, atau berbelanja dengan bahagia."
Kata-katanya sederhana sekali, tapi mendarat dengan tepat di tujuan: hati.
Saya sudah tersihir sejak sang penulis menceritakan tentang bermain layang-layang itu.
Kelak, saat kau membacanya, mungkin kau akan merasakan sensasi yang sama. Atau, sensasi yang berbeda, dengan cara yang lebih baik.
Sekadar informasi, sebenarnya kutipan itu masih ada lanjutannya. Tak akan seru bila dibeberkan semuanya.
2. Rumah Tangga diangkat dari kisah nyata.
Sejujurnya, saya tidak begitu tertarik membaca kisah yang didasarkan dari kisah nyata. Tetapi, kadang, kita butuh melihat sesuatu yang nyata untuk mendapat jawaban sesungguhnya, kan?
Kita bisa menulis fiksi tentang rumah tangga dengan alur dan gaya menulis yang luar biasa. Tak lupa juga dengan akhir bahagia. Tetapi, kisah nyata tidak selalu begitu,
dan, itulah yang ditawarkan buku ini.
Realistis.
Kita dapat melihat secara langsung "momen sendiri" sang penulis beberapa menit sebelum berlangsungnya pernikahan. Ikut merasakan dag-dig-dug sebelum mengucap ijab qabul (untuk para laki-laki), ikut menjawab pertanyaan para wanita yang bertanya, "Apa yang laki-laki pikirkan beberapa menit sebelum mereka memutuskan hidup selamanya bersama kami?"
Saya punya satu pertanyaan, "Bagaimana, ya, hati seseorang yang telah berumah tangga? Bagaimana rasanya menjadi seorang suami? Bagaimana rasanya menjadi seorang ayah?" Saya berpikir ini pasti sulit, ada tanggung jawab besar di baliknya. Baik di dunia maupun akhirat.
Namun, di buku ini, saya belajar...
Kadang-kadang, kita perlu menikmati alurnya saja, seperti saat berada di roller coaster,
but always take it seriously.
Saya pun belajar tentang beberapa tanggung jawab; yang belum saya temukan sebelumnya dari pembelajaran saya tentang rumah tangga.
3. Rumah Tangga mengangkat fenomena masa kini, yeng membuat kita jadi bertanya-tanya, "Mana, ya, yang benar?"
Di linimasa Facebook-mu, kau pasti pernah menemukan artikel Ibu-Tinggal-di-Rumah VS Ibu-Mengejar-Karir.
Dalam kepercayaan saya, rida suami terhadap istrinya adalah segalanya. Hal-hal yang dilakukan istri harus berdasarkan izin suami, karena suami juga bertanggung jawab terhadap istrinya. Correct me if I'm wrong. Maka dari itu, jika kau adalah laki-laki dan ditanya, "Istrimu harus bekerja atau tinggal di rumah?", kau tidak dapat serta-merta berkata, "Itu pilihan istri saya. Terserah dia." Kau adalah penganggung jawabnya, kau harus punya alasan kuat pula pada pilihan istrimu.
Kau juga tak dapat menentukan pilihan istrimu begitu saja. Harus selalu ada alasan kuat. Dan, komunikasi yang dilakukan baik-baik dengan istri. Hingga menghasilkan kesepakatan bersama, supaya tak ada yang tersakiti. Correct me if I'm wrong.
Dan, saat membaca bab tentang Ibu-Tinggal-di-Rumah VS Ibu-Mengejar-Karir yang tertulis dalam buku ini, saya senang sekali ada yang menyuarakan pendapat ini. Buku ini menjawab keresahan yang terjadi antar dua golongan itu. Sang penulis juga memberikan contoh nyata yang berkaitan perihal ini.
Rasa-rasanya, saya ingin menunjukkan apa yang ditulis dalam buku ini kepada mereka yang masih berdebat soal ini.
Dan, saya yakin... sebagian laki-laki yang membaca bagian ini pasti akan termenung lama, dan, pelan-pelan, mengangguk setuju.
Sementara itu, sebagian perempuan yang membaca bagian ini pasti akan hangat hatinya.
*
Kebetulan, saya punya kawan yang bertanya, "Apakah perempuan harus benar-benar mengikuti pilihan suami?"
Saat itu, saya bilang, "Kalau itu pilihan yang benar, maka iya."
"Tetapi, aku rasa, komunikasi selalu dibutuhkan, nggak bisa satu arah," tambah saya, kurang-lebih begitu.
Saya jadi ingin menunjukkan bab ini kepadanya.
4. Rumah Tangga terasa seperti tulisan dari seorang senior yang telah menikah untuk para juniornya, juga kawan-kawan seangkatannya, untuk belajar bersama.
Dari judulnya, saya pikir buku ini akan lebih cocok bagi mereka yang telah menikah. Namun, saya yang belum menikah mendapat banyak masukan dari sang penulis. Tanpa kesan menggurui. Sedikit pun.
Apa-apa yang telah saya tulis di atas sudah jadi "cuplikan" dari pelajaran hidup yang didapatkan di buku ini.
Sebenarnya, masih banyak lagi.
5. Rumah Tangga memiliki, minimal, satu bagian yang akan menyentuhmu secara personal
Salah satu sebuah buku disukai adalah karena ia memiliki personal touch. Untuk kau yang memiliki banyak pertanyaan tentang kehidupan rumah tangga, maka personal touch dari sang penulis akan menyentuhmu, di beberapa bagian.
Ada satu bab dari buku ini yang benar-benar menyentuh hati saya.
Bab "Teladan dari Ayah".
Bab itu bercerita tentang mimpi ibu sang penulis yang ingin berhaji bersama suami. Namun, keadaan keuangan keluarga membuat mimpi ini menjadi ketinggian.
Beliau harus realistis. Menunda mimpi. Dalam penantian itu, ada satu momen ketika beliau harus berusaha ikhlas terhadap sesuatu yang amat sangat menyakitkan. Saya pun bisa merasakannya.
Sakit sekali, dan sedih...
Beliau sampai bilang, "Jika Ayah bisa memberangkatkan Ibu ke Mekah, Ayah boleh menikah lagi..."
Saking mustahilnya mimpi itu.
Saya juga punya satu mimpi yang tampaknya ketinggian. (Tetapi, saya percaya tak akan ada yang ketinggian bagi Allah; segalanya mungkin terjadi). Sama-sama berhubungan dengan Saudi Arabia. Saya tidak ragu dengan mimpi ini. Tapi, siapalah saya... hanya manusia yang bahkan memastikan apa yang terjadi satu detik kemudian secara akurat, saya tak mampu. Saya pun berusaha ikhlas jika mimpi ini tidak tercapai. (Won't give up, though). Dan, kadang, saya sedikit sedih membayangkannya. Tapi, saya ikhlas.
Lalu, akhir dari kisah ibu ini membuat saya tersenyum. Dan, semakin semangat terhadap mimpi itu. Dan, semakin percaya. (Sama-sama berhubungan dengan Saudi Arabia, soalnya).
Bahwa, ada beberapa mimpi yang perlu dirawat. :)
Lalu, apa hubungannya dengan rumah tangga?
Kau akan menemukannya di paragraf terakhir bab ini. Something that will make you smile.
6. Kisahnya yang sederhana--mungkin kau pernah/akan mengalaminya
Kisah cinta di novel ini bukan kisah rumah tangga yang dramatis, yang membuatmu hatimu jumpalitan kala membacanya. Segalanya serba sederhana, dan itu membuatnya terasa dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari. Seakan kau pernah/akan mengalaminya.
Mulai dari keragu-raguan orangtua saat anaknya memutuskan menikah, kesangsian orangtua terhadap pilihan anaknya (serta ketidaksetujuan mereka), nasihat-nasihat ayah, pertanyaan dari seorang istri tentang poligami, momen-momen sederhana bersama keluarga baru.
Omong-omong, ada satu bagian yang saya suka sekali dari buku ini.
begini, jadi, melalui sebuah bab tentang kilas balik keluarga sang istri, penulis seolah bertanya, "Mengapa orangtua yang tidak sempurna itu ada?"
Jawabannya pun sederhana: karena kita pun bukan anak-anak yang sempurna.
Kesederhanaan ini membuatnya spesial.
7. Rumah Tangga adalah sebuah karya yang sempurna karena ia punya semua hal: kelebihan dan kekurangan.
Berdasarkan KBBI, sempurna berarti utuh dan lengkap. Sebuah buku tanpa kekurangan, berarti tidak sempurna, kan? Buku ini pun begitu. Ia sempurna bersama kekurangan dan kelebihannya. Jika ditanya apa kekurangannya--well, ini hanya masalah personal saya saja. Saya adalah tipikal orang yang selalu membutuhkan keakuratan sebuah ilmu. Ketika membaca sedikit kisah-kisah sejarah Nabi, saya butuh keautentikannya/sumber yang dapat dijadikan pegangan. Agar saya dapat percaya. Pasalnya, ilmu saya masih sangat minim, dan saya ingin selalu mendapatkan sumber yang benar. Ini hal yang penting buat saya. (Ini bukan kekurangan jika cuplikan kisah Nabi di sana ternyata terbukti benar.)
Terlepas dari itu, buku ini sudah memasuki level "saya menyukainya!", dan ketika saya menyukai sebuah buku, saya akan fokus pada kelebihannya. Dan, kelebihan buku ini? Tujuh alasan ini sesungguhnya tak cukup,
jika kau sudah membaca buku ini, coba tambahkan satu alasan mengapa kau menyukai buku ini di kolom komentar.
Dan, saya juga ingin tahu: apa yang kau pikirkan tentang rumah tangga?
*
Sampai jumpa di post berikutnya!
--alvi syahrin